Pekanbaru (BIC)-Hari itu, di sebuah sudut pameran di Jakarta, tampak deretan kain batik dengan motif yang tidak biasa. Ada motif khas Deli Serdang yang menampilkan tumbuhan rawa dalam warna-warna lembut, ada pula motif Jambi yang dipadukan dengan sentuhan kontemporer. Di balik ragam kain itu berdiri para pelaku UMKM yang tidak hanya piawai membatik, tetapi juga kini mulai fasih bicara soal strategi digital, branding, dan pasar ekspor.
Batik—lebih dari sekadar kain bergambar—adalah narasi panjang tentang identitas, ketekunan, dan transformasi sosial. Dan di balik transformasi itu, ada peran PTPN IV PalmCo, sub Holding PTPN III (Persero) sebuah entitas yang selama ini lebih dikenal sebagai perusahaan di sektor perkebunan sawit, namun kini tampil sebagai salah satu aktor pelestari budaya melalui pemberdayaan UMKM batik di berbagai wilayah Indonesia.
Dalam peringatan Hari Batik Nasional 2 Oktober ini, PalmCo menegaskan komitmennya untuk terus mendampingi UMKM batik binaan. Tidak hanya lewat dukungan modal, tetapi juga pelatihan kreatif, penguatan kapasitas produksi, hingga akses ke pasar digital dan internasional.
"Batik adalah bagian dari jati diri Indonesia. Melestarikannya bukan hanya menjaga budaya, tetapi juga menggerakkan ekonomi rakyat,” ujarv Jatmiko K. Santosa, Direktur Utama PTPN IV PalmCo, Kamis (02/10/2025)
* Dari Kebun ke Panggung Budaya
PTPN IV PalmCo bukan pendatang baru dalam urusan pemberdayaan masyarakat. Namun langkah mereka menyentuh sektor batik menjadi menarik karena menunjukkan transformasi peran BUMN—dari entitas ekonomi menjadi agen kebudayaan.
Melalui program tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL), PalmCo membina sejumlah UMKM batik di Sumatera Utara, Riau, hingga Jambi. Para pelaku usaha ini mendapatkan pelatihan dari lembaga profesional seperti La Salle College Jakarta, terutama dalam hal desain kontemporer, teknik pewarnaan alami, hingga penguasaan platform digital untuk pemasaran.
"PalmCo tidak hanya membantu dari sisi modal, tapi juga memberi kami arah dalam mengembangkan motif dan menyesuaikan produk dengan selera pasar," kata Hijrah Saputra, pelaku usaha batik asal Tebing Tinggi yang mengusung merek Tebing Batik Collection.
Hijrah kini telah memasarkan produknya melalui berbagai kanal daring dan aktif mengikuti pameran-pameran di tingkat nasional. Sejumlah produknya bahkan diminati pembeli dari Malaysia dan Singapura.
* Batik, Identitas Sekaligus Peluang
Batik adalah kekayaan budaya yang telah diakui UNESCO sebagai warisan budaya tak benda sejak 2009. Namun dalam realitas keseharian, banyak perajin batik yang masih berjuang menghidupi usahanya di tengah gempuran produk tekstil massal.
Inilah yang menjadi salah satu latar belakang program PalmCo. Di Jambi, misalnya, Batik Maryana milik Citra Amelia Futriana, yang sebelumnya hanya berproduksi untuk pesanan lokal, kini mulai dikenal di kancah nasional.
"Dulu, kami hanya menjual lewat mulut ke mulut. Sekarang, kami bisa ikut pameran, punya media sosial aktif, dan mulai punya pelanggan tetap dari luar daerah," ujar Citra.
Dengan pendampingan dari PalmCo, para pembatik lokal seperti Citra tak lagi sekadar mempertahankan tradisi, tetapi juga memodernisasinya tanpa kehilangan nilai-nilai luhur. Pewarna alami dari tumbuhan lokal tetap digunakan, namun dipadukan dengan motif dan produk turunan yang sesuai selera pasar milenial—dari tas tangan hingga aksesori.
* Strategi Jangka Panjang
Model pemberdayaan yang diterapkan PalmCo mencakup tiga pilar: pelatihan keterampilan, pembiayaan, dan pemasaran. Ketiganya dijalankan secara simultan dan berkelanjutan agar UMKM tidak hanya tumbuh sesaat, tetapi mampu bertahan dalam jangka panjang.
Langkah ini sejalan dengan arahan Kementerian BUMN agar perusahaan pelat merah tidak hanya fokus pada profit, tetapi juga pada social impact yang terukur.
PalmCo bahkan mendorong internalisasi nilai batik dalam budaya perusahaan, dengan mengajak seluruh karyawan mengenakan batik dalam kegiatan resmi maupun sehari-hari. Hal ini menjadi simbol keterlibatan seluruh elemen perusahaan dalam upaya pelestarian budaya nasional.
* Batik sebagai Gaya Hidup Modern
Dalam dunia yang serba cepat dan digital, batik tetap punya tempat. Bukan hanya sebagai pakaian formal saat upacara atau pertemuan resmi, tetapi juga sebagai gaya hidup yang menunjukkan kecintaan terhadap budaya lokal.
PalmCo memfasilitasi agar batik dapat menjangkau segmen ini. Melalui pelatihan desain dan rebranding, batik dari daerah-daerah seperti Asahan, Labuhanbatu, dan Muaro Jambi mulai tampil dengan warna dan motif yang lebih berani—tanpa meninggalkan akar tradisi.
"Batik tidak boleh hanya dikenang, tapi harus hidup dan berkembang," ujar Nurul Huda Nasution dari Batik Mardiyah, salah satu mitra binaan PalmCo. "Dukungan seperti ini membuat kami merasa tidak berjalan sendiri"
* Jalan Panjang yang Tidak Sendiri
Perjalanan batik dan UMKM pembatik adalah perjalanan panjang yang penuh liku. Namun dengan kehadiran institusi seperti PalmCo, jalan itu menjadi lebih terang.
Melestarikan batik bukan hanya tentang mempertahankan kain bercorak, tetapi juga menjaga mata pencaharian, mengangkat kearifan lokal, dan memberi ruang bagi budaya Indonesia di tengah arus globalisasi.
Sebagaimana disebutkan Jatmiko, Batik adalah jati diri kita. Dan tugas kita bersama menjadikannya tetap hidup, bernilai, dan membanggakan.***