JAKARTA, (Beritaintermezo.com)-Jika terbukti ada kelalaian dalam kasus ambruknya selasar Lantai 1 Tower 2 Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), maka pemilik dan/atau pengelola gedung tersebut dapat dikenakan sanksi pidana sesuai UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
Demikian disampaikan anggota Komisi V DPR RI dari FPKB Neng Eem Marhamah Zulfa Hiz di Jakarta, Selasa (16/1/2018).
“Fokus utama kita sekarang ini tentu upaya pemulihan kondisi fisik dan psikis para korban. Meski demikian, kita juga tidak boleh melupakan tanggung jawab pemilik dan pengelola bangunan,†ujarnya.
Sebab, menurut Pasal 44 UU Bangunan Gedung menyatakan setiap pemilik dan/atau pengguna yang tidak memenuhi kewajiban pemenuhan fungsi, dan/atau persyaratan, dan/atau penyelenggaraan bangunan gedung dikenai sanksi administratif dan/atau sanksi pidana.
Sementara itu, jenis pengenaan sanksi ditentukan oleh berat dan ringannya pelanggaran yang dilakukan.
Dalam hal kelalaian yang menimbulkan kerugian pada pihak lain, maka diberlakukan ketentuan dalam Pasal 46 ayat 1 sampai 3 yang menyatakan bahwa setiap pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung yang tidak memenuhi ketentuan diancam dengan pidana penjara paling lama 3, 4, atau 5 tahun dan/atau denda paling banyak 10%, 15%, atau 20% dari nilai bangunan tergantung kerugian yang diderita pihak lain tersebut, apakah kerugian harta benda, cacat seumur hidup, atau bahkan korban jiwa.
“Tentu kita tidak mengharapkan adanya korban jiwa, tetapi ketentuan tersebut menjadi peringatan bagi para pemilik dan pengelola gedung agar tidak serampangan dalam menjalankan usahanya. Mereka harus senantiasa memenuhi Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan seperti diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi,†kata Eem.
Selain itu menurut Neng Eem, UU Jasa Konstruksi juga mengatur tentang kegagalan bangunan yaitu suatu keadaan keruntuhan bangunan dan/atau tidak berfungsinya bangunan setelah penyerahan akhir hasil jasa konstruksi (Pasal 1 ayat 10).
Dimana penyedia jasa konstruksi wajib bertanggung jawab atas kegagalan bangunan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak tanggal penyerahan akhir layanan, keruntuhan bangunan yang terjadi setelah kurun waktu tersebut menjadi tanggung jawab pengguna jasa konstruksi.
Berbeda dengan UU Bangunan Gedung, UU Jasa Konstruksi tidak mengatur tentang sanksi pidana bagi penyedia atau pengguna jasa konstruksi yang tidak memenuhi standar keamanan, keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan ataupun yang tidak memenuhi kewajiban untuk mengganti atau memperbaiki kegagalan bangunan.
“Menurut UU yang baru disahkan tahun 2017 lalu, penyedia dan pengguna jasa konstruksi hanya diberikan sanksi administratif berupa peringatan tertulis, denda administratif, penghentian sementara konstruksi dan kegiatan layanan jasa, pencantuman dalam daftar hitam, pembekuan izin, dan/atau pencabutan izin,†pungkasnya.(Bir)
Demikian disampaikan anggota Komisi V DPR RI dari FPKB Neng Eem Marhamah Zulfa Hiz di Jakarta, Selasa (16/1/2018).
“Fokus utama kita sekarang ini tentu upaya pemulihan kondisi fisik dan psikis para korban. Meski demikian, kita juga tidak boleh melupakan tanggung jawab pemilik dan pengelola bangunan,†ujarnya.
Sebab, menurut Pasal 44 UU Bangunan Gedung menyatakan setiap pemilik dan/atau pengguna yang tidak memenuhi kewajiban pemenuhan fungsi, dan/atau persyaratan, dan/atau penyelenggaraan bangunan gedung dikenai sanksi administratif dan/atau sanksi pidana.
Sementara itu, jenis pengenaan sanksi ditentukan oleh berat dan ringannya pelanggaran yang dilakukan.
Dalam hal kelalaian yang menimbulkan kerugian pada pihak lain, maka diberlakukan ketentuan dalam Pasal 46 ayat 1 sampai 3 yang menyatakan bahwa setiap pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung yang tidak memenuhi ketentuan diancam dengan pidana penjara paling lama 3, 4, atau 5 tahun dan/atau denda paling banyak 10%, 15%, atau 20% dari nilai bangunan tergantung kerugian yang diderita pihak lain tersebut, apakah kerugian harta benda, cacat seumur hidup, atau bahkan korban jiwa.
“Tentu kita tidak mengharapkan adanya korban jiwa, tetapi ketentuan tersebut menjadi peringatan bagi para pemilik dan pengelola gedung agar tidak serampangan dalam menjalankan usahanya. Mereka harus senantiasa memenuhi Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan seperti diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi,†kata Eem.
Selain itu menurut Neng Eem, UU Jasa Konstruksi juga mengatur tentang kegagalan bangunan yaitu suatu keadaan keruntuhan bangunan dan/atau tidak berfungsinya bangunan setelah penyerahan akhir hasil jasa konstruksi (Pasal 1 ayat 10).
Dimana penyedia jasa konstruksi wajib bertanggung jawab atas kegagalan bangunan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak tanggal penyerahan akhir layanan, keruntuhan bangunan yang terjadi setelah kurun waktu tersebut menjadi tanggung jawab pengguna jasa konstruksi.
Berbeda dengan UU Bangunan Gedung, UU Jasa Konstruksi tidak mengatur tentang sanksi pidana bagi penyedia atau pengguna jasa konstruksi yang tidak memenuhi standar keamanan, keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan ataupun yang tidak memenuhi kewajiban untuk mengganti atau memperbaiki kegagalan bangunan.
“Menurut UU yang baru disahkan tahun 2017 lalu, penyedia dan pengguna jasa konstruksi hanya diberikan sanksi administratif berupa peringatan tertulis, denda administratif, penghentian sementara konstruksi dan kegiatan layanan jasa, pencantuman dalam daftar hitam, pembekuan izin, dan/atau pencabutan izin,†pungkasnya.(Bir)