JAKARTA,(BI)-Dalam rapat paripurna DPR RI, Selasa (28/5) Wakil Ketua Komisi VIII DPR dari Fraksi Gerindra Sodik Mudjahid mengusulkan agar DPR membahas pembentukan tim gabungan pencari fakta (TGPF) independen kerusuhan aksi 22 Mei di depan kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Jakarta.
“DPR harus mendesak pemerintah segera membentuk TGPF untuk menginvestigasi peristiwa kerusuhan yang telah menimbulkan korban jiwa itu,†tegas Sodik ketika interupsi dalam Rapat Paripurna ke-18 DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (28/5/2019).
"Kami mengusulkan ada agenda pembahasan ini untuk mendesak pemerintah membentuk tim independen gabungan pencari fakta," kata Sodik.
Menurut Sodik, kerusuhan 22 Mei 2019 itu dapat dikategorikan sebagai bencana nasional. Dengan demikian, DPR harus mengambil sikap dan mendesak pembentukan TGPF untuk mengungkap kerusuhan tersebut.
Selain itu lanjut Sodik, banyak kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang hingga kini belum dituntaskan. Seperti pembunuhan aktivis HAM Munir, kasus Novel Baswedan, dan kasus penembakan mahasiswa Trisakti 1998.
"Banyak kasus-kasus hak asasi manusia, banyak kasus-kasus perlakuan kekerasan aparat keamanan terhadap rakyat yang sampai sekarang terkatung-katung," tambah Sodik.
"Jadi, marilah sekarang melakukan upaya baru, tim gabungan pencari fakta agar tidak lagi ada utang masa lalu. Kasus Munir, Novel Baswedan, Trisakti, yang sering menjadi beban karena tidak tuntas. Ini adalah peristiwa bencana nasional yang harus kita sikapi bersama," pungkasnya.
Terkait Kerusuhan 22 Mei Seperti diketahui, aksi unjuk rasa yang terjadi pada 21-22 Mei 2019 di depan kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) berakhir rusuh.
Berdasarkan keterangan Divisi Humas Polri, korban meninggal dunia akibat kerusuhan saat aksi protes terhadap hasil Pilpres 2019 berjumlah tujuh orang. Sementara, seorang korban aksi 22 Mei yang meninggal dunia teridentifikasi terkena peluru tajam.
Tuntutan Hukum MK Bikin Heran
Dalam pada itu Wakil Ketua Tim Hukum Jokowi - Ma'ruf, Arsul Sani menilai banyak kalangan khususnya yang mengerti hukum, akan heran dan kaget dengan permohonan sengketa hasil pilpres yang diajukan oleh Tim Hukum Prabowo – Sandi.
"Jadi, siapapun yang pernah bejalar hukum akan terkaget-kaget, bahkan terbengong-bengong saat membaca materi posita, posita itu dalil-dalil permohonan dan juga petitumnya (tuntutannya)," tegas Sekjen DPP PP itu di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (28/5/2019).
Menurut Arsul, materi yang menjadi tuntutan tim Prabowo-Sandi banyak yang tidak sesuai Peraturan MK Nomor 4 Tahun 2018. Seperti tuntutan Prabowo-Sandi yang meminta MK menetapkan keduanya sebagai presiden dan wakil presiden terpilih.
Dalam posita permohonan itu, tim hukum Prabowo-Sandi merujuk pada putusan MK terhadap Pilkada Kota Waringin. Ketika itu, MK bisa memutuskan untuk mendiskualifikasi calon bukan hanya mengadili sengketa perselisihan suara.
"Kalau saya sebagai advokat, saya ingin mengatakan bahwa kerangka hukum yang ada pada saat MK memutus soal Pilkada Kota Waringin itu berbeda dengan pilpres. Kalau sekarang ini baik di dalam UU Pemilu maupun dalam PMK itu memang dibatasi apa yang menjadi kewenangan MK terkait sengketa pemilu," kata anggota Komisi III DPR itu.
Dikatakan, kewenangan MK terkait sengketa pemilu saat ini hanya sebatas perselisihan, sengketa hasil pemilu. “Jadi, bukan untuk mendiskualifikasi atau menyatakan pemenang pemilu. Dan, kalau bicara hasil perselisihan pilpres, itu bicaranya angka. Sehingga kalau kita mengatakan angka yang ditetapkan oleh KPU itu tidak benar, maka tim Prabowo – Sandi harus bisa membuktikan angka yang dianggap benar itu berapa," tanya Arsul.(Bir)
“DPR harus mendesak pemerintah segera membentuk TGPF untuk menginvestigasi peristiwa kerusuhan yang telah menimbulkan korban jiwa itu,†tegas Sodik ketika interupsi dalam Rapat Paripurna ke-18 DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (28/5/2019).
"Kami mengusulkan ada agenda pembahasan ini untuk mendesak pemerintah membentuk tim independen gabungan pencari fakta," kata Sodik.
Menurut Sodik, kerusuhan 22 Mei 2019 itu dapat dikategorikan sebagai bencana nasional. Dengan demikian, DPR harus mengambil sikap dan mendesak pembentukan TGPF untuk mengungkap kerusuhan tersebut.
Selain itu lanjut Sodik, banyak kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang hingga kini belum dituntaskan. Seperti pembunuhan aktivis HAM Munir, kasus Novel Baswedan, dan kasus penembakan mahasiswa Trisakti 1998.
"Banyak kasus-kasus hak asasi manusia, banyak kasus-kasus perlakuan kekerasan aparat keamanan terhadap rakyat yang sampai sekarang terkatung-katung," tambah Sodik.
"Jadi, marilah sekarang melakukan upaya baru, tim gabungan pencari fakta agar tidak lagi ada utang masa lalu. Kasus Munir, Novel Baswedan, Trisakti, yang sering menjadi beban karena tidak tuntas. Ini adalah peristiwa bencana nasional yang harus kita sikapi bersama," pungkasnya.
Terkait Kerusuhan 22 Mei Seperti diketahui, aksi unjuk rasa yang terjadi pada 21-22 Mei 2019 di depan kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) berakhir rusuh.
Berdasarkan keterangan Divisi Humas Polri, korban meninggal dunia akibat kerusuhan saat aksi protes terhadap hasil Pilpres 2019 berjumlah tujuh orang. Sementara, seorang korban aksi 22 Mei yang meninggal dunia teridentifikasi terkena peluru tajam.
Tuntutan Hukum MK Bikin Heran
Dalam pada itu Wakil Ketua Tim Hukum Jokowi - Ma'ruf, Arsul Sani menilai banyak kalangan khususnya yang mengerti hukum, akan heran dan kaget dengan permohonan sengketa hasil pilpres yang diajukan oleh Tim Hukum Prabowo – Sandi.
"Jadi, siapapun yang pernah bejalar hukum akan terkaget-kaget, bahkan terbengong-bengong saat membaca materi posita, posita itu dalil-dalil permohonan dan juga petitumnya (tuntutannya)," tegas Sekjen DPP PP itu di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (28/5/2019).
Menurut Arsul, materi yang menjadi tuntutan tim Prabowo-Sandi banyak yang tidak sesuai Peraturan MK Nomor 4 Tahun 2018. Seperti tuntutan Prabowo-Sandi yang meminta MK menetapkan keduanya sebagai presiden dan wakil presiden terpilih.
Dalam posita permohonan itu, tim hukum Prabowo-Sandi merujuk pada putusan MK terhadap Pilkada Kota Waringin. Ketika itu, MK bisa memutuskan untuk mendiskualifikasi calon bukan hanya mengadili sengketa perselisihan suara.
"Kalau saya sebagai advokat, saya ingin mengatakan bahwa kerangka hukum yang ada pada saat MK memutus soal Pilkada Kota Waringin itu berbeda dengan pilpres. Kalau sekarang ini baik di dalam UU Pemilu maupun dalam PMK itu memang dibatasi apa yang menjadi kewenangan MK terkait sengketa pemilu," kata anggota Komisi III DPR itu.
Dikatakan, kewenangan MK terkait sengketa pemilu saat ini hanya sebatas perselisihan, sengketa hasil pemilu. “Jadi, bukan untuk mendiskualifikasi atau menyatakan pemenang pemilu. Dan, kalau bicara hasil perselisihan pilpres, itu bicaranya angka. Sehingga kalau kita mengatakan angka yang ditetapkan oleh KPU itu tidak benar, maka tim Prabowo – Sandi harus bisa membuktikan angka yang dianggap benar itu berapa," tanya Arsul.(Bir)