JAKARTA (Beritaintermezo.com)-Upaya DPR dan berbagai kalangan mengembalikan kewenangan MPR RI membuat TAP-TAP dan menyusun haluan negara semacam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) harusnya dengan jaminan tidak akan ada sidang istimewa MPR untuk meng-impechment - melengserkan presiden.
“Kalau mau mengembalikan kewenangan MPR RI membuat GBHN dan TAP-TAP MPR, tidak benar juga kalau bertujuan untuk menjatuhkan presiden. Sebab, harus dihindari penumpang gelap, yang tak bertanggung jawab,†demikian pakar hukum Tata Negara Margarito Kamis.
Hal itu disampaikan Margarito dalam dialog empat pilar MPR RI ‘Mekanisme Check and Balance Lembaga Negara’ bersama Wakil Ketua DPD RI Nono Sampono dan anggota MPR RI Saleh Partaunan Daulay di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Senin (24/6/2019).
Sebab kata Margarito, tujuan check and balance itu agar tidak ada satu lembaga yang ‘tirani’ terhadap lembaga yang lain, atau untuk mencegah tirani satu orang terhadap orang yang lain. Misalnya, hasil kerja MPR RI (UU) bisa dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
“Kewenangan MK yang melampaui ketentuan UUD NRI 1945 ini harus diperbaiki, karena sembilan anggota MK bisa mengalahkan keputusan 575 anggota DPR dan 134 anggota DPD RI. Demikian pula kewenangan DPR RI dan DPD RI, mesti ditata ulang,†tambah Margarito.
Namun demikian kata Margarito, semua pihak harus melakukannya dengan kepala dingin, tak boleh emosional. â€Semua harus menjunjung tinggi prinsip-prinsip gotong-royong, kekitaan Indonesia kita, bangsa dan negara, dan bukannya kepentingan golongan tertentu. Kita juga tak bisa mengikuti Amerika, melainkan harus menjunjung tinggi kearifan lokal Indonesia sendiri,†pungkasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua DPD RI Noni Sampono mengakui jika sistem bernegara semakin ke depan semakin baik. Termausk relasi negara antara kepresidenan dengan lembaga negara lainnya, antara DPD RI dengan DPR RI dan lain-lain.
“Semua ini berproses. Check and balances antara DPR dan DPD RI juga makin baik dibanding sebelum-sebelumnya,†tegas senator dari Maluku itu di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Senin (24/6/2019).
DPD RI kini berwenang mengawasi dana desa, peraturan daerah (Perda), perimbangan keuangan pusat dan daerah, dan lain-lain sejalan dengan otonomi daerah. “Dulu sentralistis kini desentralisasi, dulu otokrasi kini lebih demokratis, dan dulu ekokomi berorientasi pusat kini ke daerah,†ungkapnya.
Anggota MPR RI FPAN Saleh Partaunan Daulay, mengaku DPR RI dan MPR RI memang lemah sekarang ini. “MPR RI tak lagi bisa membuat TAP-TAP MPR dan GBHN. Sehingga kerja-kerja DPR dalam menyusun UU akhirnya juga bisa dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK),†ujarnya.
Selain itu kata Saleh Daulay, DPR RI tak berkuasa menghadapi pemerintah saat penyusunan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Sehingga saat anggaran DPR RI dkurangi hingga Rp 4,4 triliun, tak bisa menolak. “Jadi, harus amandemen UUD NRI 1945 untuk tata ulang check and balance lembaga negara ini,†pungkasnya.(Bir)
“Kalau mau mengembalikan kewenangan MPR RI membuat GBHN dan TAP-TAP MPR, tidak benar juga kalau bertujuan untuk menjatuhkan presiden. Sebab, harus dihindari penumpang gelap, yang tak bertanggung jawab,†demikian pakar hukum Tata Negara Margarito Kamis.
Hal itu disampaikan Margarito dalam dialog empat pilar MPR RI ‘Mekanisme Check and Balance Lembaga Negara’ bersama Wakil Ketua DPD RI Nono Sampono dan anggota MPR RI Saleh Partaunan Daulay di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Senin (24/6/2019).
Sebab kata Margarito, tujuan check and balance itu agar tidak ada satu lembaga yang ‘tirani’ terhadap lembaga yang lain, atau untuk mencegah tirani satu orang terhadap orang yang lain. Misalnya, hasil kerja MPR RI (UU) bisa dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
“Kewenangan MK yang melampaui ketentuan UUD NRI 1945 ini harus diperbaiki, karena sembilan anggota MK bisa mengalahkan keputusan 575 anggota DPR dan 134 anggota DPD RI. Demikian pula kewenangan DPR RI dan DPD RI, mesti ditata ulang,†tambah Margarito.
Namun demikian kata Margarito, semua pihak harus melakukannya dengan kepala dingin, tak boleh emosional. â€Semua harus menjunjung tinggi prinsip-prinsip gotong-royong, kekitaan Indonesia kita, bangsa dan negara, dan bukannya kepentingan golongan tertentu. Kita juga tak bisa mengikuti Amerika, melainkan harus menjunjung tinggi kearifan lokal Indonesia sendiri,†pungkasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua DPD RI Noni Sampono mengakui jika sistem bernegara semakin ke depan semakin baik. Termausk relasi negara antara kepresidenan dengan lembaga negara lainnya, antara DPD RI dengan DPR RI dan lain-lain.
“Semua ini berproses. Check and balances antara DPR dan DPD RI juga makin baik dibanding sebelum-sebelumnya,†tegas senator dari Maluku itu di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Senin (24/6/2019).
DPD RI kini berwenang mengawasi dana desa, peraturan daerah (Perda), perimbangan keuangan pusat dan daerah, dan lain-lain sejalan dengan otonomi daerah. “Dulu sentralistis kini desentralisasi, dulu otokrasi kini lebih demokratis, dan dulu ekokomi berorientasi pusat kini ke daerah,†ungkapnya.
Anggota MPR RI FPAN Saleh Partaunan Daulay, mengaku DPR RI dan MPR RI memang lemah sekarang ini. “MPR RI tak lagi bisa membuat TAP-TAP MPR dan GBHN. Sehingga kerja-kerja DPR dalam menyusun UU akhirnya juga bisa dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK),†ujarnya.
Selain itu kata Saleh Daulay, DPR RI tak berkuasa menghadapi pemerintah saat penyusunan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Sehingga saat anggaran DPR RI dkurangi hingga Rp 4,4 triliun, tak bisa menolak. “Jadi, harus amandemen UUD NRI 1945 untuk tata ulang check and balance lembaga negara ini,†pungkasnya.(Bir)