JAKARTA (Beritaintermezo.com)-Anggota Komisi I DPR RI Arief Suditomo menyatakan berita hoax, bohong, propaganda, dan SARA akan makin parah dan terulang kembali di pilkada serentak 2018 dan pemilu setentak 2019. Sebab, kondisi sosial politik 2014 dan pilkada DKI 2017 saja belum selesai juga sampai saat ini.
“Langkah-langkah yang harus dilakukan adalah kampanye anti hoax dengan melibatkan Kominfo RI, IKAP, P3PI, untuk sosialisasikan Pasal 27 UU No.19 tahun 2016 tentang informasi dan trsaksi elektronik (ITE) ini ke kampus-kampus, ormas, dan masyarakat,†tegas Wasekjen DPP Hanura itu di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Senin (27/11/2017).
Hal itu disampaikan dalam dialog kebangsaan ‘Memantapkan Persatuan dan Kesatuan Bangsa’ bersama pakar hukum tata negara Irman Putra Sidin.
Menurut Arief, dalam UU ITE itu sudah dijelaskan jika pencemaran nama baik itu dilarang dan dikenai sanksi pidana. Selain, sosialiasi UU ITE, kunci utamnya untuk masyarakat adalah pendidikan.
“Kita khawatir, tapi tidak takut dengan maraknya hoax tersebut. Bahkan saat ini ada anggota dewan yang punya ‘cyber army’ hanya untuk mencounter berita-berita yang buruk tentang dia,†ujarnya.
Dengan demikian kata Arief, pendidikan itu sebagai vaksin agar masyarakat bisa menghadapi hoax, bisa mencerna, menganalisa dan memahami bahwa berita-berita hoax itu tak bisa dipertanggungjawabkan.
Irman Putrasidin menegaskan jika proses demokrasi itu kini sudah memasuki media sosial (medsos). Sehingga medsos menjadi variabel penting untuk mengawal demokrasi dan menjaga NKRI.
Sebab, melalui medsos seperti dalam pilkada DKI Jakarta, terjadi gesekan-geesekan personal dan berkembang menjadi gesekan sosial politik. “Jadi, medsos menjadi ancaman NKRI karena membonceng demokrasi. Dan, ancaman itu bisa datang dari dalam maupun luar negeri,†katanya singkat.(Bir).
“Langkah-langkah yang harus dilakukan adalah kampanye anti hoax dengan melibatkan Kominfo RI, IKAP, P3PI, untuk sosialisasikan Pasal 27 UU No.19 tahun 2016 tentang informasi dan trsaksi elektronik (ITE) ini ke kampus-kampus, ormas, dan masyarakat,†tegas Wasekjen DPP Hanura itu di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Senin (27/11/2017).
Hal itu disampaikan dalam dialog kebangsaan ‘Memantapkan Persatuan dan Kesatuan Bangsa’ bersama pakar hukum tata negara Irman Putra Sidin.
Menurut Arief, dalam UU ITE itu sudah dijelaskan jika pencemaran nama baik itu dilarang dan dikenai sanksi pidana. Selain, sosialiasi UU ITE, kunci utamnya untuk masyarakat adalah pendidikan.
“Kita khawatir, tapi tidak takut dengan maraknya hoax tersebut. Bahkan saat ini ada anggota dewan yang punya ‘cyber army’ hanya untuk mencounter berita-berita yang buruk tentang dia,†ujarnya.
Dengan demikian kata Arief, pendidikan itu sebagai vaksin agar masyarakat bisa menghadapi hoax, bisa mencerna, menganalisa dan memahami bahwa berita-berita hoax itu tak bisa dipertanggungjawabkan.
Irman Putrasidin menegaskan jika proses demokrasi itu kini sudah memasuki media sosial (medsos). Sehingga medsos menjadi variabel penting untuk mengawal demokrasi dan menjaga NKRI.
Sebab, melalui medsos seperti dalam pilkada DKI Jakarta, terjadi gesekan-geesekan personal dan berkembang menjadi gesekan sosial politik. “Jadi, medsos menjadi ancaman NKRI karena membonceng demokrasi. Dan, ancaman itu bisa datang dari dalam maupun luar negeri,†katanya singkat.(Bir).