Oleh : Tomedi LG

KEJ dan KPW Benteng Dalam Penyajian Berita

KEJ dan KPW Benteng Dalam Penyajian Berita

Menjadi seorang wartawan atau jurnalis tidak hanya membuat berita saja. Ada Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan Kode Perilaku wartawan yang harus dipedomani dan menjadi benteng bagi pekerja di media cetak, televisi, radio dan online.

Tujuan utama dibuat KEJ adalah menuntun wartawan untuk bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya sehingga para kuli tinta dapat menyajikan sebuah berita yang akurat, valid, berimbang dan kredibel. Keduanya menjadi rambu-rambu bagi kalangan jurnalis agar dalam pemberitaannya tidak menyimpang dari KEJ dan Kode Perilaku wartawan yang sudah dibuat.

Profesi seorang wartawan bertujuan mengumpulkan dan menulis berita agar dapat dimuat di dalam media cetak dan elektronik. Profesi ini dianggap unik. Mengapa demikian? Karena menyatunya cara kerja seorang intelektual dengan pekerja lapangan, antara pekerjaan berpikir dengan pekerjaan tangan, antara otak dan otot.

Seorang wartawan harus turun ke lapangan untuk mendapatkan fakta yang akurat, mengendus sumber fakta paling utama, primer. Berbelanja sendiri tidak boleh diwakilkan dan memasak sendiri (bahan-bahan berita diolah sendiri) untuk dikirim ke media cetak (koran, tabloid atau majalah) atau media elektronik (online, televisi dan radio).

Di era saat ini, sepertinya menjadi seorang wartawan begitu mudah. Kemudahan ini diperoleh, mulai dari sisi memperoleh pekerjaannya menjadi wartawan sampai pada pendirian perusahaan pers itu sendiri. Reformasi yang didobrak oleh para mahasiswa tahun 1998, pada akhirnya melahirkan reformasi yang kebablasan, termasuk dalam dunia pers.

Pasca reformasi, orang begitu mudahnya mendirikan perusahaan pers dan merekrut wartawan. Pasca itu, ratusan media cetak lahir dengan para pemodal yang berduit. Seleksi alam pun terjadi, modal yang besar dalam menerbitkan media cetak, membuat satu per satu pemilik media cetak gulung tikar dengan sendirinya.

Apalagi memasuki era globalisasi, dimana media cetak bukan lagi sebagai media yang dinanti-nanti para pembaca. Terlalu basi jika suatu peristiwa baru diketahui keesokan harinya. Di zaman digitalisasi, media online bisa mengabarkan suatu peristiwa yang saat ini tengah terjadi di belahan bumi utara, selatan, barat dan timur, saat itu juga. Ini tak terjadi saat di zaman media cetak.

Kini, dengan globalisasi yang makin pesat seseorang sudah tahu saat itu juga peristiwa yang baru terjadi di sudut-sudut bumi tanpa harus menanti esok. Namun sayangnya, kecepatan globalisasi tak diiringi dengan dengan sumber daya manusia (SDM) keprofesionalan suatu media online. Menjamurnya media online secara otomatis berakibat pada tidak profesional penjaringan wartawan. Apalagi jika media online tersebut tak memberikan pelajaran atau pelatihan mengenai dasar-dasar jurnalistik berikut KEJ dan Kode Perilaku yang harus diikuti sekaligus dipahami seorang jurnalis.         

Ditambah lagi kemudahan-kemudahan seorang wartawan dalam mencari sumber berita, seperti adanya rilis berita dari instansi-instansi Kepolisian, Pemkab, TNI, Kejaksaan, Pengadilan dan instansi-instansi lainnya, membuat seorang wartawan menjadi malas dalam mencari berita. Hanya bermodalkan kartu pers yang bisa dicetak di percetakan yang murah, seseorang kini sudah bisa menjadi seorang jurnalis. Soal berita, sudah tersedia rilis-rilis yang selalu dikirim di grup-grup WhatsApp eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Jadi wartawan kini tinggal copas saja dan tinggal tulis nama dirinya di bawah berita. Tak ada lagi itu konfirmasi ulang atau cek dan ricek yang menjadi pedoman wartawan. Bahkan rilis yang dikirim itu di-copy paste habis oleh wartawan bermodal kartu pers bulat dan utuh sekalian titik dan komanya. Hal itulah kini yang terjadi di salah satu kabupaten di Riau, di mana saya bertugas.

Kondisi dan situasi inilah yang membuat saya prihatin sekaligus miris. Profesi wartawan bukan lagi menjadi sebuah profesi kebanggaan karena mampu menyebarkan berita yang tak diketahui oleh para pembaca. Profesi wartawan kini seperti dijual layaknya kacang goreng. Tak ada lagi wartawan yang sudah menerima rilis tersebut mendatangi lokasi, bahkan jangankan itu, mengkonfirmasi ulang berita rilis itupun, mungkin sudah tak dipergunakan lagi.

Padahal wartawan profesional tidak hanya sekedar bisa “menulis berita” tetapi juga harus memahami serta menaati aturan yang berlaku di dunia jurnalistik terutama Kode Etik Jurnalistik dan Kode Perilaku Wartawan. Apalagi memasuki era Revolusi 4.0 saat ini dimana semua serba digitalisasi dan arus informasi serta pemberitaan begitu pesat mudah didapatkan masyarakat dengan adanya media online, seorang wartawan benar-benar dituntut untuk memahami KEJ dan Kode Perilaku Wartawan. 

Lantas, bagaimana persoalan etika dalam praktek pers di Indonesia? Di Indonesia sebenarnya tidak kurang adanya etika dan regulasi yang mengatur ranah pers, lembaga-lembaga yang mengawasi penegakan etika dan hukum pers secara prosedural dan fungsional juga telah ada, seperti diperlihatkan dengan keberadaan Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia. Namun, keberadaan etika, regulasi dan institusi tersebut tidak serta merta menyelesaikan persoalan etika dalam pers Indonesia.

Saat ini, banyak sekali terjadi penyebaran pemberitaan bohong yang tidak jelas kebenarannya. Selain itu, pers saat ini tidak sedikit menjadi kepentingan politik. Elit politik memanfaatkan media massa sebagai arena pertarungan bagi kepentingan berbagai kelompok sosial politik yang ada dalam masyarakat demokratis.

Media massa saat ini telah menjelma sebagai industri yang menjual produk berupa informasi untuk dikonsumsi masyarakat demi memperoleh profit bagi pemiliknya. Bahkan, tidak tanggung-tanggung para elit politik saat ini mampu menguasai media massa secara keseluruhan, dengan menjadi pemilik perusahaan media massa itu sendiri.

Fenomena pemanfaatan media massa sebagai alat politik bagi pertarungan kepentingan elit tertentu telah menjadi gejala umum yang terus menjalar tidak hanya di ranah nasional tetapi juga di daerah. Berbagai ajang pencitraan yang berlebihan, tendensi sikap yang diskriminatif terhadap golongan tertentu, serta berbagai upaya pemelintiran substansi pemberitaan pun kerap terjadi.

Sebagai konsumen informasi, kita harus menegakkan hati nurani. Kita harus memilah mana pemberitaan yang benar dan salah. Jangan sampai kita terjerumus pada isu yang sengaja dibuat oleh para kepentingan politik.

Sebagai jurnalis, seharusnya juga selalu mengedepankan kode etik jurnalistik. Namun persoalan etika dalam pers tidak hanya bisa ditimpakan pada kode etik yang dibuat asosiasi profesi, regulasi yang dibuat negara serta institusi yang memiliki wewenang, namun juga harus kembali pada individu masing-masing dalam menegakkan etika.***

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index