Sebut saja si "A", wartawan salah satu media online. Dengan berlagak preman, sesuka hatinya mendobrak pintu ruangan salah satu pejabat atau menanyakan keberadaaan nara sumber? Ada si B, bilang si A mau jumpa?. Tanpa mendahuluk pertanyaan Bapak atau lainnya. Dengan cara seperti itu, seorang staf akan melarang wartawan untuk menemui pimpinanya. Memang dia telah mengenal pejabat tersebut. Namun, saling mengenal apalagi hubungan narasumber denga seorang wartawan tidak mutlak seorang wartawan dengan sesukanya atau merasa paling hebat memasuki ruangan narasumbernya. Dia bahkan tidak peduli dengan staf diruangan pejabat tersebut.
Seorang wartawan profesional ataupun wartawan pemula harus mendahulukan etika dalam setiap tugas jurnalistiknya. Mengenal dekat dengan narasumber dan sesuka hatinya berbicara boleh-boleh saja, ketika seorang wartawan dan narasumber tersebut berduaan. Tetapi, ketika saat melakukan kunjungan atau wawancara kepada seorang narasumber harus menunjukkan etika apalagi terhadap staf yang menjaga pintu keluar masuk pimpinannya.
Melakukan sesuka hati tanpa mempedulikan staf diruangan narasumber merupakan bentuk pelanggaran Kode Etik Wartawan. Walau bagaimana, seorang staf bertangggung jawab terhadap kehormatan pimpinannya. Jika seorang wartawan dengan sesuka hatinya mau memasuki ruangan narasumber tanpa terlebih dahulu permisi dari stafnya narasumber akan menyebabkan benturan atau adu mulut.
Hal itu sudah melanggar dan menunjukkan seorang wartawan tidak lagi profesional. Seorang narasumber juga tidak selamanya dapat menerima wartawan secara ontime atau open secara dua puluh empat jam. Sehingga, stafnya berhak mengatur waktu bagi pimpinannya, kapan bisa menerima tamu atau wawancara.
Contoh diatas baru menyalahi Kode Perilaku Wartawan (KPW), belum berbicara Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Lalu Kenapa Dewan Pers membuat KEJ dan KPW? Apa pentingnya? Kode etik jurnalistik dan Kode Perilaku Wartawan sangat penting bagi seorang wartawan dalam menjalankan tugas profesinya. Kode etik jurnalistik membimbing seorang wartawan untuk tetap berada dalam koridor. Kode Etik Jurnalistik ini juga mengarahkan wartawan lepas dari jeratan pidana Pencemaran Nama Baik.
Berada dalam koridor Kode Etik Jurnalistik, seorang wartawan akan menunjukkan profesionalisme. Terhindar dari emosi dan menghakimi narasumber atau seseorang.
Maka KEJ dan KPW sangat penting bagi wartawan. Memang, seorang wartawan dilindungi oleh undang-undang Pers No 40 Tahun 1999 dalam menjalankan tugas profesinya. Tetapi, seorang wartawan bukanlah dewa atau kebal hukum jika tidak mentaati kode etik jurnalistik dan kode perilaku wartawan. Undang-Undang No 40 Tahun 1999 tentang pers dapat melindungi seorang wartawan jika yang bersangkutan selalu berada dalam koridor Kode Etik dan Kode Perilaku.
Tidak salah, jika belakangan ini banyak oknum wartawan yang berhadapan dengan hukum. Hal itu, karena yang bersangkutan selalu mengedepankan keegoisan atau kesombongan dan mengindahkan KEJ ataupun KPW. Undang-undang pers sekalipun tidak mampu untuk melindunginya, karena telah menyalahi aturan atau lalulintas profesi wartawan.
Seorang wartawan dapat dilindungi UU Pers No 40 Tahun 1999, jika seorang wartawan selalu mengedepankan praduga tak bersalah, tetap memperhatikan aturan profesi yang berlaku, melakukan wawancara dengan sopan santun.
Memang, saat ini kebebasan pers telah dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Pers telah dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi, pers telah dibuat sebagai pelarian pekerjaan. Tidak lagi melihat aturan dan koridor yang berlaku, padahal seorang wartawan dalam menjalankan profesinya sangat riskan dengan hukum. Artinya, seorang wartawan yang tidak profesional dalam menjalankan tugasnya separoh badannya telah berada dalam "penjara". Hanya saja, nara sumber atau pihak-pihak yang dijolimi tidak mempunyai keberanian atau malas berhubungan dengan hukum.
Oleh sebab itu, agar profesi wartawan tetap mulia dimata publik sebagai pembawa informasi, kontrol sosial dan edukasi harus memperhatikan terlebih dahulu Kode Etik Jurnalistik dan Kode Perilaku Wartawan. Profesi kita baik dipandang masyarakat, jika kita tetap mengedepankan aturan profesi dalam menyajikan informasi.
Maka, pihak-pihak yang berkepentingan seperti Dewan Pers, organisasi wartawan harus dengan getolnya menyampaikan atau mensosialisasikan KEJ dan KPW ini kepada wartawan. Sehingga, wartawan dan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dengan sendirinya akan menghilang satu persatu bagi yang tidak paham akan tugas dan profesi wartawan profesional.
Dewan Pers ataupun Pemerintah ditekankan untuk lebih tegas memberikan sanksi bagi organisasi wartawan yang tidak memberikan pembekalan terhadap anggotanya akan aturan atau KEJ dan KPW.
Mudahnya mendirikan badan hukum perusahaan pers saat ini juga telah menunjukkan kebablasan kebebasan pers. Sebab, saat ini ribuan perusahaan pers dikelola secara UMKM. Para wartawan pemula yang belum memahami aturan dan UU Pers dengan "gampang" nya mendirikan perusahaan pers dan bekerja secara mandiri. Padahal, pada hakekatnya, perusahaan pers atau penyajian berita harus dikerjakan secara tim. Untuk itulah, susunan keredaksian itu dirancang mulai dari Reporter, Redaktur, pimpinan redaksi hingga wartawan. Agar setiap pemberitaan diperiksa secara bergantian oleh jenjang keredaksian. Sehingga, berita yang akan disajikan benar-benar sesuai dengan kaidah jurnalistik yang profesional.
Mudah-mudahan, dengan getolnya sosialisasi KEJ dan KPW dibarengi dengan sanksi dari pemerintah terhadap organisasi dan perusahaan pers yang tidak mengedepankan aturan pers akan menghasilkan wartawan-wartawan yang profesional. Sehingga profesi wartawan itu sesuai dengan tujuan utamanya yaitu Penyebaran Informasi, Kontrol Sosial dan Edukasi.***
Seorang wartawan profesional ataupun wartawan pemula harus mendahulukan etika dalam setiap tugas jurnalistiknya. Mengenal dekat dengan narasumber dan sesuka hatinya berbicara boleh-boleh saja, ketika seorang wartawan dan narasumber tersebut berduaan. Tetapi, ketika saat melakukan kunjungan atau wawancara kepada seorang narasumber harus menunjukkan etika apalagi terhadap staf yang menjaga pintu keluar masuk pimpinannya.
Melakukan sesuka hati tanpa mempedulikan staf diruangan narasumber merupakan bentuk pelanggaran Kode Etik Wartawan. Walau bagaimana, seorang staf bertangggung jawab terhadap kehormatan pimpinannya. Jika seorang wartawan dengan sesuka hatinya mau memasuki ruangan narasumber tanpa terlebih dahulu permisi dari stafnya narasumber akan menyebabkan benturan atau adu mulut.
Hal itu sudah melanggar dan menunjukkan seorang wartawan tidak lagi profesional. Seorang narasumber juga tidak selamanya dapat menerima wartawan secara ontime atau open secara dua puluh empat jam. Sehingga, stafnya berhak mengatur waktu bagi pimpinannya, kapan bisa menerima tamu atau wawancara.
Contoh diatas baru menyalahi Kode Perilaku Wartawan (KPW), belum berbicara Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Lalu Kenapa Dewan Pers membuat KEJ dan KPW? Apa pentingnya? Kode etik jurnalistik dan Kode Perilaku Wartawan sangat penting bagi seorang wartawan dalam menjalankan tugas profesinya. Kode etik jurnalistik membimbing seorang wartawan untuk tetap berada dalam koridor. Kode Etik Jurnalistik ini juga mengarahkan wartawan lepas dari jeratan pidana Pencemaran Nama Baik.
Berada dalam koridor Kode Etik Jurnalistik, seorang wartawan akan menunjukkan profesionalisme. Terhindar dari emosi dan menghakimi narasumber atau seseorang.
Maka KEJ dan KPW sangat penting bagi wartawan. Memang, seorang wartawan dilindungi oleh undang-undang Pers No 40 Tahun 1999 dalam menjalankan tugas profesinya. Tetapi, seorang wartawan bukanlah dewa atau kebal hukum jika tidak mentaati kode etik jurnalistik dan kode perilaku wartawan. Undang-Undang No 40 Tahun 1999 tentang pers dapat melindungi seorang wartawan jika yang bersangkutan selalu berada dalam koridor Kode Etik dan Kode Perilaku.
Tidak salah, jika belakangan ini banyak oknum wartawan yang berhadapan dengan hukum. Hal itu, karena yang bersangkutan selalu mengedepankan keegoisan atau kesombongan dan mengindahkan KEJ ataupun KPW. Undang-undang pers sekalipun tidak mampu untuk melindunginya, karena telah menyalahi aturan atau lalulintas profesi wartawan.
Seorang wartawan dapat dilindungi UU Pers No 40 Tahun 1999, jika seorang wartawan selalu mengedepankan praduga tak bersalah, tetap memperhatikan aturan profesi yang berlaku, melakukan wawancara dengan sopan santun.
Memang, saat ini kebebasan pers telah dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Pers telah dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi, pers telah dibuat sebagai pelarian pekerjaan. Tidak lagi melihat aturan dan koridor yang berlaku, padahal seorang wartawan dalam menjalankan profesinya sangat riskan dengan hukum. Artinya, seorang wartawan yang tidak profesional dalam menjalankan tugasnya separoh badannya telah berada dalam "penjara". Hanya saja, nara sumber atau pihak-pihak yang dijolimi tidak mempunyai keberanian atau malas berhubungan dengan hukum.
Oleh sebab itu, agar profesi wartawan tetap mulia dimata publik sebagai pembawa informasi, kontrol sosial dan edukasi harus memperhatikan terlebih dahulu Kode Etik Jurnalistik dan Kode Perilaku Wartawan. Profesi kita baik dipandang masyarakat, jika kita tetap mengedepankan aturan profesi dalam menyajikan informasi.
Maka, pihak-pihak yang berkepentingan seperti Dewan Pers, organisasi wartawan harus dengan getolnya menyampaikan atau mensosialisasikan KEJ dan KPW ini kepada wartawan. Sehingga, wartawan dan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dengan sendirinya akan menghilang satu persatu bagi yang tidak paham akan tugas dan profesi wartawan profesional.
Dewan Pers ataupun Pemerintah ditekankan untuk lebih tegas memberikan sanksi bagi organisasi wartawan yang tidak memberikan pembekalan terhadap anggotanya akan aturan atau KEJ dan KPW.
Mudahnya mendirikan badan hukum perusahaan pers saat ini juga telah menunjukkan kebablasan kebebasan pers. Sebab, saat ini ribuan perusahaan pers dikelola secara UMKM. Para wartawan pemula yang belum memahami aturan dan UU Pers dengan "gampang" nya mendirikan perusahaan pers dan bekerja secara mandiri. Padahal, pada hakekatnya, perusahaan pers atau penyajian berita harus dikerjakan secara tim. Untuk itulah, susunan keredaksian itu dirancang mulai dari Reporter, Redaktur, pimpinan redaksi hingga wartawan. Agar setiap pemberitaan diperiksa secara bergantian oleh jenjang keredaksian. Sehingga, berita yang akan disajikan benar-benar sesuai dengan kaidah jurnalistik yang profesional.
Mudah-mudahan, dengan getolnya sosialisasi KEJ dan KPW dibarengi dengan sanksi dari pemerintah terhadap organisasi dan perusahaan pers yang tidak mengedepankan aturan pers akan menghasilkan wartawan-wartawan yang profesional. Sehingga profesi wartawan itu sesuai dengan tujuan utamanya yaitu Penyebaran Informasi, Kontrol Sosial dan Edukasi.***
Ditulis Oleh : Jinto Lumban Gaol