JAKARTA (BI)-Anggota MPR RI dari Fraksi Golkar Satya Widya Yudha menegaskan jika kenaikan harga BBM non subsidi jenis premium seperti Pertamax dan lain-lain sudah disepakati untuk diserahkan kepada pemerintah.
Baik harganya naik maupun turun tetap harus dievaluasi setiap tiga bulan. Namun, memang tidak ada kenaikan harga BBM itu sejak pertengahan 2017 hingga 2018 saat ini.
“Kalau BBM jenis minyak tanah, solar, pertalite memang harus dibicarakan dengan DPR. Itu jenis BBM yang disubsidi. Karena itu tak masalah kalau pemerintah menaikkan harga BBM non subsidi tanpa dibicarakan dengan DPR sekaligus tanpa diumumkan ke masyarakat,†tegas politisi Golkar itu di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Senin (15/10/2018).
Hal itu disampaikan dalam diskusi Empat Pilar MPR RI 'Fluktuasi Harga BBM, Sesuai Konstitusi?' bersama Ferdinan Hutahean (Wasekjen Demokrat dan Direktur Eksekutif Energi Watch Indonesia), di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Senin (15/10/2018).
Karena itu tidak ada konstitusi yang dilanggar. “Dilanggar itu kalau harga BBM semuanya diserahkan sesuai dengan mekanisme pasar bebas. Saat ini harga BBM sudah 80 dollar AS, tapi pemerintah tetap menjualnya seharga sekitar Rp 38 dollar AS. Artinya itu merugi dan kerugian ditanggung PT. Pertamina, dan ditutupi dari harga BBM non subsidi,†jelas Satya.
Bahwa mekanisme kenaikan harga BBM non subsidi itu sudah disepakati antara pemerintah dan DPR. Yaitu setiap tiga bulan dievaluasi, dan tak perlu diumumkan ke masyarakat. “Apakah naik atau turun,†tambah Satya lagi.
Apakah tidak ada subsidi? Kata Satya, subsidi tetap ada. Hanya tidak dalam bentuk harga BBM, melainkan dialihkan ke BPJS Kesehatan, pendidikan, Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan lain-lain. Hanya saja evaluasi itu tidak dilakukan lagi sejak pertengahan 2017 sampai hari ini.
Karena itu dia merasa heran, kalau ada anggota DPR RI yang terkejut dengan kenaikan sekaligus tidak diumumkannya kenaikan harga BBM tersebut. “Jadi, perubahan kenaikan itu sudah diatur, mekanismenya setiap tiga bulan, dan tidak bertentangan dengan konstitusi,†pungkasnya.
Hanya saja kata Ferdinan Hutahaean, pemerintahan Jokowi – JK ini tidak konsisten dengan aturan tersebut. “Sejak revisi Perpres 191 tahun 2014 itu tidak dijalankan. Dan, kini saat harga BBM dunia naik baru panik, meski ditunda kenaikannya. Seharusnya subsidi masuk ke APBN, sehingga kerugian akibat kenaikan itu tidak ditanggung Pertamina,†kata dia.
“Mekanisme kenaikan per 3 bulan itu tidak dilakukan. Pemerintah baru panik saat harga BBM dunia naik, berbarengan rupiah melemah terhadap dollar AS. Sehingga harga BBM jauh di atas subsidi dan Pertamina makin berat bebannya,†ungkapnya.
Menurut Ferdinand, sebelumnya Pertamina mematok harga BBM jenis premium Rp 6.500/liter, tapi sekarang harga keekonomiannya sudah mencapi Rp 9. 800/liter.
“Anehnya lalu BBM jenis premium langka dimana-mana. Apakah, ini strategi Pertamina untuk meringankan beban kenaikan harga tersebut?†katanya mempertanyakan.
Karena itu dia meminta pemerintah tidak membiarkan beban Pertamina itu secara terus-menerus. Sebab, Pertamina bisa bangkrut alias collaps. Sehingga saat ini beban utang yang harus ditanggung mencapai Rp 150 triliun, sepertiga aset Pertamina.
Dalam prtemuan IMF – World Bank di Bali, Pertamina mendapat pinjaman 6,5 miliar dollar AS. “Jangan sampai beban harga BBM itu ditanggung Pertamina. Rakyat tetap perlu subsidi harga dan semuanya harus masuk APBN,†pungkasnya.(Bir)
Baik harganya naik maupun turun tetap harus dievaluasi setiap tiga bulan. Namun, memang tidak ada kenaikan harga BBM itu sejak pertengahan 2017 hingga 2018 saat ini.
“Kalau BBM jenis minyak tanah, solar, pertalite memang harus dibicarakan dengan DPR. Itu jenis BBM yang disubsidi. Karena itu tak masalah kalau pemerintah menaikkan harga BBM non subsidi tanpa dibicarakan dengan DPR sekaligus tanpa diumumkan ke masyarakat,†tegas politisi Golkar itu di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Senin (15/10/2018).
Hal itu disampaikan dalam diskusi Empat Pilar MPR RI 'Fluktuasi Harga BBM, Sesuai Konstitusi?' bersama Ferdinan Hutahean (Wasekjen Demokrat dan Direktur Eksekutif Energi Watch Indonesia), di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Senin (15/10/2018).
Karena itu tidak ada konstitusi yang dilanggar. “Dilanggar itu kalau harga BBM semuanya diserahkan sesuai dengan mekanisme pasar bebas. Saat ini harga BBM sudah 80 dollar AS, tapi pemerintah tetap menjualnya seharga sekitar Rp 38 dollar AS. Artinya itu merugi dan kerugian ditanggung PT. Pertamina, dan ditutupi dari harga BBM non subsidi,†jelas Satya.
Bahwa mekanisme kenaikan harga BBM non subsidi itu sudah disepakati antara pemerintah dan DPR. Yaitu setiap tiga bulan dievaluasi, dan tak perlu diumumkan ke masyarakat. “Apakah naik atau turun,†tambah Satya lagi.
Apakah tidak ada subsidi? Kata Satya, subsidi tetap ada. Hanya tidak dalam bentuk harga BBM, melainkan dialihkan ke BPJS Kesehatan, pendidikan, Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan lain-lain. Hanya saja evaluasi itu tidak dilakukan lagi sejak pertengahan 2017 sampai hari ini.
Karena itu dia merasa heran, kalau ada anggota DPR RI yang terkejut dengan kenaikan sekaligus tidak diumumkannya kenaikan harga BBM tersebut. “Jadi, perubahan kenaikan itu sudah diatur, mekanismenya setiap tiga bulan, dan tidak bertentangan dengan konstitusi,†pungkasnya.
Hanya saja kata Ferdinan Hutahaean, pemerintahan Jokowi – JK ini tidak konsisten dengan aturan tersebut. “Sejak revisi Perpres 191 tahun 2014 itu tidak dijalankan. Dan, kini saat harga BBM dunia naik baru panik, meski ditunda kenaikannya. Seharusnya subsidi masuk ke APBN, sehingga kerugian akibat kenaikan itu tidak ditanggung Pertamina,†kata dia.
“Mekanisme kenaikan per 3 bulan itu tidak dilakukan. Pemerintah baru panik saat harga BBM dunia naik, berbarengan rupiah melemah terhadap dollar AS. Sehingga harga BBM jauh di atas subsidi dan Pertamina makin berat bebannya,†ungkapnya.
Menurut Ferdinand, sebelumnya Pertamina mematok harga BBM jenis premium Rp 6.500/liter, tapi sekarang harga keekonomiannya sudah mencapi Rp 9. 800/liter.
“Anehnya lalu BBM jenis premium langka dimana-mana. Apakah, ini strategi Pertamina untuk meringankan beban kenaikan harga tersebut?†katanya mempertanyakan.
Karena itu dia meminta pemerintah tidak membiarkan beban Pertamina itu secara terus-menerus. Sebab, Pertamina bisa bangkrut alias collaps. Sehingga saat ini beban utang yang harus ditanggung mencapai Rp 150 triliun, sepertiga aset Pertamina.
Dalam prtemuan IMF – World Bank di Bali, Pertamina mendapat pinjaman 6,5 miliar dollar AS. “Jangan sampai beban harga BBM itu ditanggung Pertamina. Rakyat tetap perlu subsidi harga dan semuanya harus masuk APBN,†pungkasnya.(Bir)