Pekanbaru (Beritaintermezo.com)-Jikalahari meminta dalam pembahasan Rencana Tata Ruang Wilayah Riau untuk melibatkan masyarakat. Selain melibatkan masyarakat, dalam pembahasan RTRW tersebut harus dilakukan secara terbuka dan transaparan. Wilayah mana yang akan dilepaskan, sehingga kedepan tidak terjadi komplik antara masyarakat dengan pengusaha. Selain itu, Jikalahari juga mendesak DPRD Propinsi Riau menghentikan pembahasan Ranperda Rencana Tata Ruang Wilayah Povinsi (RTRWP) Riau 2016-2035 jelang.
Â
"Draft RTRWP 2016–2035 banyak tidak mengakomodir perubahan kebijakan dan produk-produk hukum terbaru seperti Perhutanan Sosial, Tanah Objek Re, beberapa izin perusahaan industri kehutanan yang dicabut serta ekosistem gambut. Akibatnya ruang kelola masyarakat dan ruang ekologis tidak mendapat tempat, justru draft ini melegalkan dominasi monopoli korporasi HTI, sawit, tambang dan cukong di Riau," ujar Woro Supartinah, Koordinator Jikalahari didampingi Okto Yugo saat berdiskusi dengan wartawan Jumat (4/7) lalu.
Dikatakan Okto, jika Pemerintah dan DPRD mensahkan RTRW Riau maka sepuluh persoalan akan timbul jika tidak melibatkan masyarakat.
Pertama, pidana Bagi Masyarakat Adat dan Tempatan. Bila DPRD Provinsi Riau hari ini menetapkan Ranperda RTRWP Riau 2016-2035 menjadi Perda, masyarakat hukum adat dan
masyarakat tempatan yang bergantung pada hutan dapat dengan mudah dikriminalisasi oleh korporasi Hutan Tanaman Industri (HTI) pulp and paper APP dan APRIL dengan UU kehutanan dan UU Tata Ruang.
Â
Kedua, Proses pembahasan RTRWP Riau hampir tidak pernah melibatkan masyarakat terdampak. Selain itu dalam pembahasan Draft RTRWP tidak transparan sehingga hanya menguntungkan segelintir elit, birokrasi dan korporasi. Munculnya kasus korupsi Annas Maamun, Gulat Manurung dan Edison Marudut membuktikan proses pembahasan RTRWP Riau tidak transparan karena perilaku korupsi. Padahal UU penataan ruang memberi ruang pada masyarakat dalam penataan ruang yang dilakukan pada tahap: perencanaan tata ruang, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang
Ketiga, tidak Mengakomodir PS, TORA dan Hutan Adat. Seharusnya draft RTRWP Riau mengakomodir kebijakan yang bertujuan pemerataan ekonomi untuk mengurangi ketimpangan
penguasaan lahan. Pemerintah menggesa adanya reformasi agraria dengan dua skema:Perhutanan Sosial (PS) atau Tanah Obyek reforma Agraria (TORA). Juga mematuhi danmengakomodir Putusan MK No. 34/PUU-IX/2011 menyebutkan bahwa hutan adat bukan hutan negara. Hutan adat juga masuk dalam skema PS.
Keempat, tidak Mengakomodir Perubahan Kebijakan Baru Pemerintah Berkaitan Review Perizinan, Perubahan Fungsi Pengelolaan Hutan Serta Penetapan Kawasan Lindung dan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Kelima, tidak Mengakomodir Kawasan Lindung Gambut. Dalam draft RTRWP 2016 – 2035 pasal 22 ayat (3) menyebut Kawasan Lindung Kubah Gambut (KLG) total seluas 1.693.030 hektar. Padahal berdasarkan SK MenLHK Nomor 129/Setjen/PKL.0/2/2017 Tentang Penetapan Peta Kesatuan Hidrologis Gambut Nasional, khusus untuk Riau luasan ekosistem gambut mencapai 5.040.735 ha. Luasan ini terbagi untuk dua fungsi ekosistem gambut: fungsi lindung sekitar 2.473.383 ha dan sisanya 2.567.352 ha untuk fungsi budidaya. Artinya Pemda Riau harus memasukkan 2,4 juta hektar kawasan lindung ke dalam draft RTRWP.
Dalam penataan ruang setiap orang berhak salah satunya mengetahui rencana tata ruang (Pasal 60 UU 26 Tahun 2007)Jika 2,4 juta hektar kawasan lindung gambut tidak masuk dalam draft RTRWP Riau 2016 – 2035, kegiatan restorasi pada gambut bekas terbakar tidak dapat dilaksanakan oleh Badan Restorasi Gambut (BRG) dan Tim Restorasi Gambut Propinsi Riau.
Â
Keenam, lebih mementingkan korporasi dari pada masyarakat. Dari sekira 9 juta hektar luas kawasan Riau, lebih dari 65 persen telah dikuasai korporasi sektor HTI, sawit dan tambang—belum termasuk korporasi sektor Migas karena belum ditemukan data valid terkait eksisting penggunaan lahan. Akibat berpihaknya draft RTRWP kepada korporasi, masyarakat adat dan tempatan tidak lagi memiliki tempat untuk hidup dan mengelola lahan. Pemda Riau semestinya mereview kembali izin perusahaan yang merampas hutan tanah milik masyarakat adat dan tem patan.
Ketujuh, tidak menjalankan GNPSDA KPK. Seharusnya Pemda Riau menjalankan 19 Renaksi Pemda yang disetujui bersama KPKsebagai bagian penyelesaian persoalan kehutanan di Riau dengan 6 fokus utama: Penyelesaian Pengukuhan Kawasan Hutan; Penataan Ruang dan Wilayah Administrasi; Penataan perizinan kehutanan dan perkebunan; perluasan wilayah kelola masyarakat; penyelesaian konflik kawasan hutan; penguatan instrumen lingkungan hidup dalam perlindungan hutan; dan membangun sistem pengendalian anti korupsi.
Kedelapan, tidak disusun berdasarkan KLHS. KLHS berfungsi menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan keselamatan masyarakat. Setiap perencanaan tata ruang dan wilayah, wajib didasarkan pada KLHS (Pasal 19 UU 32 tahun 2009 tentang PPLH). Namun Riau belum memiliki KLHS dalam menyusun Draft RTRWP.
Kesembilan, tidak Mengakomodir Temuan Pansus DPRD Bengkalis. Pansus Monitoring dan dentifikasi Sengketa Lahan Kehutanan DPRD Bengkalis merekomendasikan agar MenLHK
mencabut atau merevisi SK No 314/MenLHK/2016 tentang Peruntukan Perubahan Kawasan Hutan Riau, karena banyak desa tua serta lahan penghidupan masyarakat berada dalam kawasan konsesi perusahaan: PT Rimba Rokan Lestari; PT Arara Abadi; PT Sumatera Riang Lestari; PT Bukit Batu Hutani Alam; PT Sekato Pratama Makmur; PT Balai Kayang Mandari; PT Rimba Mandau Lestari; PT Riau Abadi Lestari (HTI); PT Sinar Sawit Sejahtera; PT Sarpindo Graha Sawit Tani, PT Murini Samsam dan PT Murini Wood (Sawit). Perkembangan mutakhir ini belum pernah dibahas oleh Gubernur Riau dan DPRD Riau untuk memasukkan dalam draft RTRWP Riau.
Â
Kesepuluh, melegalkan praktik perkebunan Sawit ilegal dalam Kawasan Hutan. Pada 2015 Pansus Monitoring dan Evaluasi Perizinan HGU, Izin Perkebunan, Kehutanan, Pertambangan, Industri dan Lingkungan dalam Upaya Memaksimalakan Penerimaan Pajak Serta Penertiban Perizinan dan Wajib Pajak DPRD Provinsi Riau menemukan 2,4 juta kawasan hutan di Riau dirambah oleh korporasi, cukong dan masyarakat.
Â
Sebagai bentuk peran partisipasi publik dalam penataan ruang mulai dari perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Jikalahari mendesak menawarkan solusi RTRWP Riau berbasis ruang kelola rakyat, partisipasi dan ruang ekologis:Pertama, DPRD Riau tidak menyetujui draft RTRWP Riau 2016-2035 versi Gubernur Riau. Lalu DPRD Riau merekomendasikan Gubernur Riau:
a. Membentuk tim khusus Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dengan melibatkan
   masyarakat dan pemangku kepentingan.
b. Mengusulkan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mereview SK
   Kawasan Hutan Riau nomor:Â
1. SK.673/Menhut-II/2014
2. SK 878 SK 878/Menhut-II/2014
3. SK.314/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2016 jo SK.393/MENLHK/SETJEN/PLA.0/5/2016
4. SK No, 903/MENLHK/SETJEN/PLA.2/12/2016
   Dengan cara membentuk tim terpadu yang melibatkan akademisi, masyarakat sipil, dan
    masyarakat terdampak dengan tugas utamanya :
a. Penyelesaian Pengukuhan Kawasan Hutan, Penataan Ruang dan Wilayah
   Administrasi.
b. Penataan perizinan kehutanan berupa mereview izin korporasi yang beroperasi di
   atas lahan gambut dan lahan masyarakat hukum adat serta masyar akat tempatan.
c. Perluasan wilayah kelola masyarakat berupa Perhutanan Sosial.
d. Penyelesaian konflik kawasan hutan dengan melibatkan masyarakat adat dan
   masyarakat tempatan.
   Kedua, membentuk tim perbaikan tata kelola lingkungan hidup dan kehutanan untuk
   menjalankan renaksi GNPSDA KPK sektor kehutanan, perkebunan, minerba dan energi. Untuk
   memastikan kepentingan ruang kelola rakyat diakomodir dalam RTRWP Riau.
   Ketiga, Gubernur Riau melibatkan masyarakat adat dan tempatan serta masyarakat terdampak
  dalam proses pembahasan dan penyusunan draft RTRWP Riau 2016-2035.
  Keempat, Gubernur Riau membangun sistem informasi dan komunikasi penyelenggaraan
   penataan ruang yang dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
  Kelima, Komisi Pemberantasan Korupsi bersama Menteri LHK, Gubernur Riau dan DPRD Riau
  membentuk tim khusus yang tugas utamanya mengawasi perencanaan RTRWP Riau dan
   pembahasan draft RTRWP Riau 2016-2035.
"Oleh karenanya draft RTRWP 2016 – 2035 harus ditolak untuk dikoreksi. Lalu dibuat draft RTRWP yang baru dengan melibatkan partisipasi publik sebagai syarat transparansi untuk mewujudkan ruang yang berkeadilan berbasis ekologis dan berpihak pada rakyat," kata Woro Supartinah. (jin)
Â
"Draft RTRWP 2016–2035 banyak tidak mengakomodir perubahan kebijakan dan produk-produk hukum terbaru seperti Perhutanan Sosial, Tanah Objek Re, beberapa izin perusahaan industri kehutanan yang dicabut serta ekosistem gambut. Akibatnya ruang kelola masyarakat dan ruang ekologis tidak mendapat tempat, justru draft ini melegalkan dominasi monopoli korporasi HTI, sawit, tambang dan cukong di Riau," ujar Woro Supartinah, Koordinator Jikalahari didampingi Okto Yugo saat berdiskusi dengan wartawan Jumat (4/7) lalu.
Dikatakan Okto, jika Pemerintah dan DPRD mensahkan RTRW Riau maka sepuluh persoalan akan timbul jika tidak melibatkan masyarakat.
Pertama, pidana Bagi Masyarakat Adat dan Tempatan. Bila DPRD Provinsi Riau hari ini menetapkan Ranperda RTRWP Riau 2016-2035 menjadi Perda, masyarakat hukum adat dan
masyarakat tempatan yang bergantung pada hutan dapat dengan mudah dikriminalisasi oleh korporasi Hutan Tanaman Industri (HTI) pulp and paper APP dan APRIL dengan UU kehutanan dan UU Tata Ruang.
Â
Kedua, Proses pembahasan RTRWP Riau hampir tidak pernah melibatkan masyarakat terdampak. Selain itu dalam pembahasan Draft RTRWP tidak transparan sehingga hanya menguntungkan segelintir elit, birokrasi dan korporasi. Munculnya kasus korupsi Annas Maamun, Gulat Manurung dan Edison Marudut membuktikan proses pembahasan RTRWP Riau tidak transparan karena perilaku korupsi. Padahal UU penataan ruang memberi ruang pada masyarakat dalam penataan ruang yang dilakukan pada tahap: perencanaan tata ruang, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang
Ketiga, tidak Mengakomodir PS, TORA dan Hutan Adat. Seharusnya draft RTRWP Riau mengakomodir kebijakan yang bertujuan pemerataan ekonomi untuk mengurangi ketimpangan
penguasaan lahan. Pemerintah menggesa adanya reformasi agraria dengan dua skema:Perhutanan Sosial (PS) atau Tanah Obyek reforma Agraria (TORA). Juga mematuhi danmengakomodir Putusan MK No. 34/PUU-IX/2011 menyebutkan bahwa hutan adat bukan hutan negara. Hutan adat juga masuk dalam skema PS.
Keempat, tidak Mengakomodir Perubahan Kebijakan Baru Pemerintah Berkaitan Review Perizinan, Perubahan Fungsi Pengelolaan Hutan Serta Penetapan Kawasan Lindung dan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Kelima, tidak Mengakomodir Kawasan Lindung Gambut. Dalam draft RTRWP 2016 – 2035 pasal 22 ayat (3) menyebut Kawasan Lindung Kubah Gambut (KLG) total seluas 1.693.030 hektar. Padahal berdasarkan SK MenLHK Nomor 129/Setjen/PKL.0/2/2017 Tentang Penetapan Peta Kesatuan Hidrologis Gambut Nasional, khusus untuk Riau luasan ekosistem gambut mencapai 5.040.735 ha. Luasan ini terbagi untuk dua fungsi ekosistem gambut: fungsi lindung sekitar 2.473.383 ha dan sisanya 2.567.352 ha untuk fungsi budidaya. Artinya Pemda Riau harus memasukkan 2,4 juta hektar kawasan lindung ke dalam draft RTRWP.
Dalam penataan ruang setiap orang berhak salah satunya mengetahui rencana tata ruang (Pasal 60 UU 26 Tahun 2007)Jika 2,4 juta hektar kawasan lindung gambut tidak masuk dalam draft RTRWP Riau 2016 – 2035, kegiatan restorasi pada gambut bekas terbakar tidak dapat dilaksanakan oleh Badan Restorasi Gambut (BRG) dan Tim Restorasi Gambut Propinsi Riau.
Â
Keenam, lebih mementingkan korporasi dari pada masyarakat. Dari sekira 9 juta hektar luas kawasan Riau, lebih dari 65 persen telah dikuasai korporasi sektor HTI, sawit dan tambang—belum termasuk korporasi sektor Migas karena belum ditemukan data valid terkait eksisting penggunaan lahan. Akibat berpihaknya draft RTRWP kepada korporasi, masyarakat adat dan tempatan tidak lagi memiliki tempat untuk hidup dan mengelola lahan. Pemda Riau semestinya mereview kembali izin perusahaan yang merampas hutan tanah milik masyarakat adat dan tem patan.
Ketujuh, tidak menjalankan GNPSDA KPK. Seharusnya Pemda Riau menjalankan 19 Renaksi Pemda yang disetujui bersama KPKsebagai bagian penyelesaian persoalan kehutanan di Riau dengan 6 fokus utama: Penyelesaian Pengukuhan Kawasan Hutan; Penataan Ruang dan Wilayah Administrasi; Penataan perizinan kehutanan dan perkebunan; perluasan wilayah kelola masyarakat; penyelesaian konflik kawasan hutan; penguatan instrumen lingkungan hidup dalam perlindungan hutan; dan membangun sistem pengendalian anti korupsi.
Kedelapan, tidak disusun berdasarkan KLHS. KLHS berfungsi menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan keselamatan masyarakat. Setiap perencanaan tata ruang dan wilayah, wajib didasarkan pada KLHS (Pasal 19 UU 32 tahun 2009 tentang PPLH). Namun Riau belum memiliki KLHS dalam menyusun Draft RTRWP.
Kesembilan, tidak Mengakomodir Temuan Pansus DPRD Bengkalis. Pansus Monitoring dan dentifikasi Sengketa Lahan Kehutanan DPRD Bengkalis merekomendasikan agar MenLHK
mencabut atau merevisi SK No 314/MenLHK/2016 tentang Peruntukan Perubahan Kawasan Hutan Riau, karena banyak desa tua serta lahan penghidupan masyarakat berada dalam kawasan konsesi perusahaan: PT Rimba Rokan Lestari; PT Arara Abadi; PT Sumatera Riang Lestari; PT Bukit Batu Hutani Alam; PT Sekato Pratama Makmur; PT Balai Kayang Mandari; PT Rimba Mandau Lestari; PT Riau Abadi Lestari (HTI); PT Sinar Sawit Sejahtera; PT Sarpindo Graha Sawit Tani, PT Murini Samsam dan PT Murini Wood (Sawit). Perkembangan mutakhir ini belum pernah dibahas oleh Gubernur Riau dan DPRD Riau untuk memasukkan dalam draft RTRWP Riau.
Â
Kesepuluh, melegalkan praktik perkebunan Sawit ilegal dalam Kawasan Hutan. Pada 2015 Pansus Monitoring dan Evaluasi Perizinan HGU, Izin Perkebunan, Kehutanan, Pertambangan, Industri dan Lingkungan dalam Upaya Memaksimalakan Penerimaan Pajak Serta Penertiban Perizinan dan Wajib Pajak DPRD Provinsi Riau menemukan 2,4 juta kawasan hutan di Riau dirambah oleh korporasi, cukong dan masyarakat.
Â
Sebagai bentuk peran partisipasi publik dalam penataan ruang mulai dari perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Jikalahari mendesak menawarkan solusi RTRWP Riau berbasis ruang kelola rakyat, partisipasi dan ruang ekologis:Pertama, DPRD Riau tidak menyetujui draft RTRWP Riau 2016-2035 versi Gubernur Riau. Lalu DPRD Riau merekomendasikan Gubernur Riau:
a. Membentuk tim khusus Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dengan melibatkan
   masyarakat dan pemangku kepentingan.
b. Mengusulkan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mereview SK
   Kawasan Hutan Riau nomor:Â
1. SK.673/Menhut-II/2014
2. SK 878 SK 878/Menhut-II/2014
3. SK.314/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2016 jo SK.393/MENLHK/SETJEN/PLA.0/5/2016
4. SK No, 903/MENLHK/SETJEN/PLA.2/12/2016
   Dengan cara membentuk tim terpadu yang melibatkan akademisi, masyarakat sipil, dan
    masyarakat terdampak dengan tugas utamanya :
a. Penyelesaian Pengukuhan Kawasan Hutan, Penataan Ruang dan Wilayah
   Administrasi.
b. Penataan perizinan kehutanan berupa mereview izin korporasi yang beroperasi di
   atas lahan gambut dan lahan masyarakat hukum adat serta masyar akat tempatan.
c. Perluasan wilayah kelola masyarakat berupa Perhutanan Sosial.
d. Penyelesaian konflik kawasan hutan dengan melibatkan masyarakat adat dan
   masyarakat tempatan.
   Kedua, membentuk tim perbaikan tata kelola lingkungan hidup dan kehutanan untuk
   menjalankan renaksi GNPSDA KPK sektor kehutanan, perkebunan, minerba dan energi. Untuk
   memastikan kepentingan ruang kelola rakyat diakomodir dalam RTRWP Riau.
   Ketiga, Gubernur Riau melibatkan masyarakat adat dan tempatan serta masyarakat terdampak
  dalam proses pembahasan dan penyusunan draft RTRWP Riau 2016-2035.
  Keempat, Gubernur Riau membangun sistem informasi dan komunikasi penyelenggaraan
   penataan ruang yang dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
  Kelima, Komisi Pemberantasan Korupsi bersama Menteri LHK, Gubernur Riau dan DPRD Riau
  membentuk tim khusus yang tugas utamanya mengawasi perencanaan RTRWP Riau dan
   pembahasan draft RTRWP Riau 2016-2035.
"Oleh karenanya draft RTRWP 2016 – 2035 harus ditolak untuk dikoreksi. Lalu dibuat draft RTRWP yang baru dengan melibatkan partisipasi publik sebagai syarat transparansi untuk mewujudkan ruang yang berkeadilan berbasis ekologis dan berpihak pada rakyat," kata Woro Supartinah. (jin)