Berbicara mengenai anggaran negara yang sejatinya berfungsi menata dan menghidupi perekonomian supaya lebih baik, bukan rahasia lagi menjadi objek pejabat korup untuk meraih dan melanggengkan kekuasaannya. Sehingga politik anggaran dari pusat hingga daerah boleh jadi sudah menjadi pertarungan dan perebutan kekuatan dalam merancang anggaran agar menguntungkan dan melanggengkan kekuasaan. Dalam hal ini bukan berarti hanya eksekutif saja yang berkesempatan memainkan anggaran untuk memuluskan kepentingan politiknya tetapi di ujungnya mau tidak mau harus kompromi dengan pihak legislatif sebagai konterpart mengesyahkan rancangan anggaran itu menjadi UU atau Peraturan Daerah. Baru saja heboh terungkapnya alamat palsu penerima dana hibah yang dirancang dalam RAPBD DKI Jakarta untuk tahun 2018. Rencana jumlah yang dihibahkan mencapai Rp 40 miliar bisa membangun puluhan sekolah di daerah. Bukan itu saja, sangat disorot penambahan Tim Gubernur sepuluh kali lipat begitu juga anggarannya, dari Rp 2,35 miliar di jaman gubernua Ahok menjadi Rp 28,99 miliar. Mark-up berbagai proyek seperti memperbaiki satu kolam depan kantor Pemda DKI hingga Rp 600 miliar bisa membangun kantor baru DPR. Begitu juga jumlah dana hibah kepada 350 LSM sebesar Rp 1,7 Triliun patut diduga sebagai realisasi janji balas jasa kepada para tim sukses guna memenangkan Anies-Sandi di Pilkada. Biaya kunjungan kerja DPRD DKI dan anggaran Sekretariat DPRD juga meningkat sepulu kali lipat, bukan kah itu bancakan mengobok obok uang rakyat. Perilaku seperti ini mungkin sama di semua daerah dan tingkatan. Sekalipun sistem penganggaran sudah baku, diatur dengan UU tetapi prakteknya bisa hanky-panky, pat-gulipat supaya eksekutif dan legislatif sama sama kebagian, jika tidak saling memberi pasti ribut. Ini merajalela di era reformasi ini. Di tingkat DPR, besarnya anggaran infrastruktur selalu diributkan politisi DPR sebagai pencitraan Presiden Jokowi. Sehingga mereka seperti minta bagian dengan jatah dana aspirasi setiap anggota Rp 20 miliar per tahun yang dalam pembahasan di badan anggaran disebut dana optimalisasi. Dana itu menjadi proyek gratifikasi yang banyak menjebloskan anggota ke penjara. Di jaman Orde Baru, dominasi eksekutif sangat kuat di bawah otoritarianisme Soeharto. Pinjaman luar negeri dimasukkan dalam nomenklatur Penerimaan Pembangunan. Seolah kita dapat hadiah dari langit atau kebaikan Tuhan. Dalam pengeluaran juga banyak bersifat pembinaan seperti Bimas, Bimbingan Masyarakat membawa nama Orpol tertentu, kemudian berbagai proyek raksasa bantuan asing juga dikuasai putra-putri Soeharto yang sulit diawasi. KPK di jaman ketuanya Abraham Samad secara fenomenal mengungkap dinasti korupsi Gubernur Banten Atut Chosiyah. Selain semua proyek dikerjakan keluarga yang sarat korupsi, anggaran pembinaan masyarakat banyak disalurkan kepada LSM yang dipimpin keluarganya sehingga penguasa di Provinsi Banten dari eksekutif hingga kegislatif diborong keluarga Atut. Sekarang ini penyusunan APBD DKI Jakarta di masa Gubernur Anies -Sandi dalam sorotan karena mengalami peningkatan justru bukan untuk mensejahterakan rakyat, tapi untuk kepentingi tim sukses baik ditempatkan di TGPP, maupun penyaluran dana pembinaan bagi LSM yang berperanan saat kampanye yang berbau SARA itu. Tetapi Gubernur Anies dengan mulut manisnya mengatakan senang rakyat ikut menyoroti. Begitu juga Dirjen OPD Soemarsono bilang akan coret mata anggaran yang tidak masuk akal. Tapi bisa terjadi upaya "melambung" seperti proyek UPS yg menghebohkan di masa Ahok justru muncul setelah turun dari Depdagri. Harapan masyarakat agar penggunan anggaran negara tidak menjadi bancakan bagai ditelan kencangnya perebutan kekuasaan di era demokratisasi sekarang ini. Sebetulnya ada arahan dari Menkeu dan Mendagri dalam menyusun anggaran negara yaitu supaya efisien dan efektif mencapai cita cita dalam mensejahterakan rakyat supaya berkehidupan yang adil dan makmur sebagaimana ditulis pada pembukaan UUD-45. Tetapi founding fathers kita di dalam penjelasan konstitusi sebetulnya sudah mengingatkan bahwa sebaik apapun aturan dibuat, berhasil tidaknya aturan itu untuk mensejahterakan rakyat tergantung dari moral dari pejabat kita. Patut dipertanyakan, siapa yang lebih bertanggung jawab memperbaiki moral dan etika pejabat kita. Tentu partai politik yang mengkader dan menghadirkannya melalui usulan pencalonan pemimpin di setiap pemilu. Semoga.