JAKARTA (Beritaintermezo.com)-Ketua DPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) menegaskan jika belum ada fraksi-fraksi di DPR yang menyetujui atau melegalkan LGBT (lesbi, gay, biseks, dan transeksual). Karena itu pernyataan Ketua MPR RI Zulkifli seolah 5 fraksi sudah setuju sebagai tidak tepat, dan tidak ada pembicaraan khusus RUU LGBT.
"Saya kira pernyataan Pak Zulkifli Hasan itu kurang tepat, salah ucap atau salah kutip. Sebab, kalau saya pasti menolak legalisasi LGBT, yang merusak moral bangsa itu," tegas Bambang pada wartawan di Kompleks Parlemen, senayan Jakarta, Senin (22/1/2018).
Menurut politisi Golkar itu, isu LGBT mencuat dalam pembahasan RUU tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang saat ini sedang dibahas oleh Panitia Kerja (Panja) Komisi III DPR.
"Semangat Komisi III DPR justru selain menolak, juga ada perluasan daripada pemidanaan perilaku LGBT itu. Tidak hanya pada pencabulan terhadap anak di bawah umur, tapi hubungan sesama jenis dapat dikategorikan pidana asusila," ujar Ketua Komisi III DPR RI itu.
Karena itu Bamsoet membantah adanya 5 fraksi yang setuju dengan LGBT tersebut. Demikian pula spekulasi Ketua Umum PAN itu yang menyebut LGBT untuk kepentingan Pemilu 2019.
"Saya kira tidaklah. Kan kalau itu yang dirugikan Pak Ketua MPR sama PAN kan. Saya tidak yakin itu. Saya kira mungkin terjadi mis komunikasi saja. Saya masih meyakini kalau Pak Zul masih berada dalam garis yang lurus dan tegak," pungkasnya.
Ketua Pansus RUU Larangan Miras DPR RI, Arwani Thomafi membantah adanya persetujuan lima fraksi mendukung penjualan bebas Miras seperti yang diungkapkan oleh Ketua MPR RI Zulkifli Hasan. Karena Pansus masih sedang membahas.
“RUU Larangan Minuman Beralkohol, sampai saat ini kami di Pansus masih bekerja. Rapat terakhir, adalah Rapat internal Rabu (17/1/2018) lalu, membahas jadwal rapar dengan pemerintah di masa sidang ini,†tegas Waketum PPP itu.
Pansus ini dibentuk sejak 2015 lalu, masa kerja Pansus RUU Larangan Minuman Beralkohol diperpanjang karena memang ada poin krusial yang belum menemukan titik temu di antara fraksi-fraksi di DPR RI.
“Point krusial itu salah satunya terkait dengan penamaan judul RUU apakah menggunakan nomenklatur "larangan" minuman beralkohol, "pengendalian dan pemgawasan" minuman beralkohol serta tanpa embel-embel dua nomenklatur tersebut,†ujar anggota Komisi I DPR RI itu.
Di poin itu kata Arwani, fraksi-fraksi mengalami perbedaan pandangan. Posisinya sebagai berikut; fraksi yang setuju menggunakan nomenklatur "larangan" adalah FPPP dan FPKS yang kemudian dalam perjalannyan FPAN juga setuju.
Adapun yang setuju menggunakan nomenklatur "pengendalian dan pengawasan" adalah FPDIP, F-Gerindra, F-Hanura, dan F-NasDem. Sedangkan fraksi yang mengusulkan judul tanpa embel-embel "larangan" dan "pengendalian dan pengawasan" yakni Fraksi Golkar dan Fraksi PKB.
Sementara itu soal isu minuman berakohol dijual bebas di warung-warung, semua fraksi dan pemerintah secara bulat setuju untuk melakukan penertiban dengan melarang penjualan minuman beralkohol dijual di tempat-tempat bebas.
“Jadi, tidak benar bila ada informasi yang menyebutkan soal komposisi fraksi-fraksi di DPR yang setuju minuman beralkohol dijual secara bebas. Saya tegaskan seluruh fraksi dan pemerintah sepakat untuk menertibkan penjualan minuman beralkohol.,†tegas Arwani lagi
Menurut Arwani, perlu disampaikan kronologi munculnya RUU Larangan Minuman Beralkohol tersebut. Dimana FPPP merupakan inisiator tunggal pengusulan RUU Larangan Minuman Beralkohol ini yang dilakukan sejak DPR periode 2009-2014.
Namun, karena waktunya tidak memungkinkan, usulan tersebut kandas. Usulan tersebut kami perjuangkan kembali di DPR periode 2014-2019 melalui Badan Legislatif (Baleg) DPR.
Dalam pengusulan tersebut, Fraksi PKS turut serta menjadi inisator. Praktis, sejak itu, secara formal pengusul RUU Larangan Minuman Beralkohol ada dua fraksi yakni PPP dan PKS.
“Pada tahun 2015, DPR dan pemerintah sepakat untuk membahas RUU Larangan Minuman Beralkohol dan terbentuklah Pansus RUU Larangan Minuman Beralkohol yang hingga saat ini terus bekerja,†pungkasnya.
Sebelumnya Sekjen PPP Arsul Sani meminta agar anggota partai, terutama yang berbasis massa Islam bekerja dengan konkret di DPR RI untuk menolak pernikahan sesama jenis dan legalisasi LGBT. Hanya saja isu LGBT ini jangan dijadikan isu politik.
“Jangan sampai fraksi-fraksi di DPR RI hanya menjadikan isu Lesbian Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) ini sebagai komoditas politik pencitraan. Mari isu LGBT ini jangan cuma jadi jualan atau pencitraan politik," tegas anggota Panja R-KUHP Arsul Sani.
Penegasan Arsul Sani itu untuk menanggapi pernyataan Ketum PAN Zulkifli Hasan yang mengatakan lima dari 10 fraksi setuju melegalkan LGBT dan kawin sejenis dalam pembahasan rancangan tentang LGBT.
Karena itu, Arsul mempertanyakan konsistensi fraksi PAN di DPR yang tak ikut membahas tentang RUU LGBT dan kawin sejenis. Padahal, fraksi-fraksi di DPR pada Senin (15/1) sampai Kamis (18/1) lalu sedang membahas LGBT dan kawin sejenis dalam tim panitia kerja (Panja) Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (R-KUHP) di Komisi III DPR.
Dimana dalam pembahasan tersebut, dari 10 fraksi yang hadir cuma 8 fraksi (PPP, Nasdem, Golkar, PKS. PKB, PDIP, Demokrat, dan Gerindra) yang hadir. "Semua fraksiyang hadir itu setuju LGBT adalah perbuatan pidana," jelas Arsul.
Menurut Arsul, PAN dan Hanura justru tidak hadir dalam pembahasan LGBT tersebut. Alhasil, kata dia, delapan fraksi sampai hari ini tak tahu sikap politik partai tersebut terkait pembahasan LGBT, maupun kawin sejenis itu.
Karena itu dia menyayangkan fraksi mana yang hanya kerja di media dan yang kerja konkret dalam merumuskan UU LGBT menjadi perbuatan cabul dan dapat dipidana.
Pembahasan di Panja R-KUHP itu LGBT ada dalam R-KUHP Buku II yang berisi pasal-pasal tindak pidana. Dalam pembahasan, fraksi yang hadir sepakat menggolongkan LGBT sebagai perbuatan cabul. Semula, dalam konsep RKUHP bersama pemerintah, perbuatan cabul dalam LGBT hanya terhadap kelompok usia 18 tahun ke bawah atau anak-anak.
Namun, dua fraksi yakni PPP dan PKS meminta agar defenisi LGBT sebagai perbuatan cabul diperluas cakupannya. Akhirnya RKUHP Buku II ditambah dengan satu ayat baru yang menegaskan prilaku LGBT dianggap cabul dalam kelompok usia 18 tahun ke atas atau dewasa.
Hukumannya kata Arsul, yakni sembilan tahun penjara. Hukuman pidana tersebut bisa diterapkan terhadap pelaku LGBT yang melakukan kegiatan cabulnya dengan kekerasan, atau ancaman kekerasan, dan dilakukan ditempat umum, atau juga dipublikasikan. Tapi, terang PPP masih ingin memperluasnya lagi.
Sementara FPPP menghendaki agar perbuatan cabul LGBT dikategorikan sebagaimana perbuatan dalam pasal zina. Perluasan kedua tersebut, pun mendapat dukungan dari fraksi PKS, dan enam fraksi lain yang hadir dalam Panja tersebut. “Jadi, tak benar ada 5 fraksi mendukung LGBT,†katanyar. ( Bir).
"Saya kira pernyataan Pak Zulkifli Hasan itu kurang tepat, salah ucap atau salah kutip. Sebab, kalau saya pasti menolak legalisasi LGBT, yang merusak moral bangsa itu," tegas Bambang pada wartawan di Kompleks Parlemen, senayan Jakarta, Senin (22/1/2018).
Menurut politisi Golkar itu, isu LGBT mencuat dalam pembahasan RUU tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang saat ini sedang dibahas oleh Panitia Kerja (Panja) Komisi III DPR.
"Semangat Komisi III DPR justru selain menolak, juga ada perluasan daripada pemidanaan perilaku LGBT itu. Tidak hanya pada pencabulan terhadap anak di bawah umur, tapi hubungan sesama jenis dapat dikategorikan pidana asusila," ujar Ketua Komisi III DPR RI itu.
Karena itu Bamsoet membantah adanya 5 fraksi yang setuju dengan LGBT tersebut. Demikian pula spekulasi Ketua Umum PAN itu yang menyebut LGBT untuk kepentingan Pemilu 2019.
"Saya kira tidaklah. Kan kalau itu yang dirugikan Pak Ketua MPR sama PAN kan. Saya tidak yakin itu. Saya kira mungkin terjadi mis komunikasi saja. Saya masih meyakini kalau Pak Zul masih berada dalam garis yang lurus dan tegak," pungkasnya.
Ketua Pansus RUU Larangan Miras DPR RI, Arwani Thomafi membantah adanya persetujuan lima fraksi mendukung penjualan bebas Miras seperti yang diungkapkan oleh Ketua MPR RI Zulkifli Hasan. Karena Pansus masih sedang membahas.
“RUU Larangan Minuman Beralkohol, sampai saat ini kami di Pansus masih bekerja. Rapat terakhir, adalah Rapat internal Rabu (17/1/2018) lalu, membahas jadwal rapar dengan pemerintah di masa sidang ini,†tegas Waketum PPP itu.
Pansus ini dibentuk sejak 2015 lalu, masa kerja Pansus RUU Larangan Minuman Beralkohol diperpanjang karena memang ada poin krusial yang belum menemukan titik temu di antara fraksi-fraksi di DPR RI.
“Point krusial itu salah satunya terkait dengan penamaan judul RUU apakah menggunakan nomenklatur "larangan" minuman beralkohol, "pengendalian dan pemgawasan" minuman beralkohol serta tanpa embel-embel dua nomenklatur tersebut,†ujar anggota Komisi I DPR RI itu.
Di poin itu kata Arwani, fraksi-fraksi mengalami perbedaan pandangan. Posisinya sebagai berikut; fraksi yang setuju menggunakan nomenklatur "larangan" adalah FPPP dan FPKS yang kemudian dalam perjalannyan FPAN juga setuju.
Adapun yang setuju menggunakan nomenklatur "pengendalian dan pengawasan" adalah FPDIP, F-Gerindra, F-Hanura, dan F-NasDem. Sedangkan fraksi yang mengusulkan judul tanpa embel-embel "larangan" dan "pengendalian dan pengawasan" yakni Fraksi Golkar dan Fraksi PKB.
Sementara itu soal isu minuman berakohol dijual bebas di warung-warung, semua fraksi dan pemerintah secara bulat setuju untuk melakukan penertiban dengan melarang penjualan minuman beralkohol dijual di tempat-tempat bebas.
“Jadi, tidak benar bila ada informasi yang menyebutkan soal komposisi fraksi-fraksi di DPR yang setuju minuman beralkohol dijual secara bebas. Saya tegaskan seluruh fraksi dan pemerintah sepakat untuk menertibkan penjualan minuman beralkohol.,†tegas Arwani lagi
Menurut Arwani, perlu disampaikan kronologi munculnya RUU Larangan Minuman Beralkohol tersebut. Dimana FPPP merupakan inisiator tunggal pengusulan RUU Larangan Minuman Beralkohol ini yang dilakukan sejak DPR periode 2009-2014.
Namun, karena waktunya tidak memungkinkan, usulan tersebut kandas. Usulan tersebut kami perjuangkan kembali di DPR periode 2014-2019 melalui Badan Legislatif (Baleg) DPR.
Dalam pengusulan tersebut, Fraksi PKS turut serta menjadi inisator. Praktis, sejak itu, secara formal pengusul RUU Larangan Minuman Beralkohol ada dua fraksi yakni PPP dan PKS.
“Pada tahun 2015, DPR dan pemerintah sepakat untuk membahas RUU Larangan Minuman Beralkohol dan terbentuklah Pansus RUU Larangan Minuman Beralkohol yang hingga saat ini terus bekerja,†pungkasnya.
Sebelumnya Sekjen PPP Arsul Sani meminta agar anggota partai, terutama yang berbasis massa Islam bekerja dengan konkret di DPR RI untuk menolak pernikahan sesama jenis dan legalisasi LGBT. Hanya saja isu LGBT ini jangan dijadikan isu politik.
“Jangan sampai fraksi-fraksi di DPR RI hanya menjadikan isu Lesbian Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) ini sebagai komoditas politik pencitraan. Mari isu LGBT ini jangan cuma jadi jualan atau pencitraan politik," tegas anggota Panja R-KUHP Arsul Sani.
Penegasan Arsul Sani itu untuk menanggapi pernyataan Ketum PAN Zulkifli Hasan yang mengatakan lima dari 10 fraksi setuju melegalkan LGBT dan kawin sejenis dalam pembahasan rancangan tentang LGBT.
Karena itu, Arsul mempertanyakan konsistensi fraksi PAN di DPR yang tak ikut membahas tentang RUU LGBT dan kawin sejenis. Padahal, fraksi-fraksi di DPR pada Senin (15/1) sampai Kamis (18/1) lalu sedang membahas LGBT dan kawin sejenis dalam tim panitia kerja (Panja) Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (R-KUHP) di Komisi III DPR.
Dimana dalam pembahasan tersebut, dari 10 fraksi yang hadir cuma 8 fraksi (PPP, Nasdem, Golkar, PKS. PKB, PDIP, Demokrat, dan Gerindra) yang hadir. "Semua fraksiyang hadir itu setuju LGBT adalah perbuatan pidana," jelas Arsul.
Menurut Arsul, PAN dan Hanura justru tidak hadir dalam pembahasan LGBT tersebut. Alhasil, kata dia, delapan fraksi sampai hari ini tak tahu sikap politik partai tersebut terkait pembahasan LGBT, maupun kawin sejenis itu.
Karena itu dia menyayangkan fraksi mana yang hanya kerja di media dan yang kerja konkret dalam merumuskan UU LGBT menjadi perbuatan cabul dan dapat dipidana.
Pembahasan di Panja R-KUHP itu LGBT ada dalam R-KUHP Buku II yang berisi pasal-pasal tindak pidana. Dalam pembahasan, fraksi yang hadir sepakat menggolongkan LGBT sebagai perbuatan cabul. Semula, dalam konsep RKUHP bersama pemerintah, perbuatan cabul dalam LGBT hanya terhadap kelompok usia 18 tahun ke bawah atau anak-anak.
Namun, dua fraksi yakni PPP dan PKS meminta agar defenisi LGBT sebagai perbuatan cabul diperluas cakupannya. Akhirnya RKUHP Buku II ditambah dengan satu ayat baru yang menegaskan prilaku LGBT dianggap cabul dalam kelompok usia 18 tahun ke atas atau dewasa.
Hukumannya kata Arsul, yakni sembilan tahun penjara. Hukuman pidana tersebut bisa diterapkan terhadap pelaku LGBT yang melakukan kegiatan cabulnya dengan kekerasan, atau ancaman kekerasan, dan dilakukan ditempat umum, atau juga dipublikasikan. Tapi, terang PPP masih ingin memperluasnya lagi.
Sementara FPPP menghendaki agar perbuatan cabul LGBT dikategorikan sebagaimana perbuatan dalam pasal zina. Perluasan kedua tersebut, pun mendapat dukungan dari fraksi PKS, dan enam fraksi lain yang hadir dalam Panja tersebut. “Jadi, tak benar ada 5 fraksi mendukung LGBT,†katanyar. ( Bir).