JAKARTA,(BI)-Provokasi-provokasi yang dilakukan pendemo berupa penghinaan terhadap Sri Sultan HB X, Sebagai simbol utama kekuasaan politik dan kultural yang disegani di Jawa, khususnya Kesultanan Jogyakarta, sama sekali tidak relevan dengan tuntutan dan isu perburuhan dalam aksi Hari Buruh Sedunia, 1 Mei lalu.
Demikian disampaikan Ketua Setara Institute, Hendardi dalam keterangannya, Kamis (3/5/2018). Aksi demo yang rusuh dengan membakar pos polisi dan corat-coret di mana-mana dengan penghinaan kepada Sri Sultan HB X itu diduga ada penyusup politik 2019.
Karena itu Setara membuat beberapa catatan serius, yaitu: ‘Kebebasan berekspresi, berunjuk rasa, dan mengemukakan pendapat di depan umum merupakan hak konstitusional warga yang dijamin oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Namun hak tersebut tidak boleh melanggar hak dan kebebasan orang lain.’
Selain itu, penunaian hak tersebut juga harus dilakukan secara damai, tanpa kekerasan, dan tidak dengan perusakan fasilitas-fasilitas umum. “Untuk demo di UIN Yogyakarta, kita harus memberikan kesempatan kepada kepolisian untuk melaksanakan kewenangannya dalam menegakkan hukum,†ujar Hendardi.
Dan, dalam rangka penegakan hukum, sebaliknya aparat kepolisian harus melaksanakan kewenangannya secara profesional sesuai dengan koridor hukum dan peraturan perundang-undangan.
“Aparat kepolisian harus menjamin kerja-kerja bantuan hukum dan tidak menghalang-halangi kerja penasehat hukum untuk menjalankan profesinya dalam memberikan bantuan hukum bagi para pendemo yang ditangkap,†kata Hendardi lagi.
Terakhir, provokasi-provokasi yang dilakukan oleh oknum pendemo berupa penghinaan terhadap Sri Sultan HB X, sebagai simbol utama kekuasaan politik dan kultural yang disegani di Jawa, khususnya di wilayah Kesultanan Jogyakarta, sama sekali tidak relevan dengan tuntutan dan isu perburuhan dalam aksi Hari Buruh Sedunia.
Narasi “Bunuh Sultan†yang cukup massif dalam demo itu nyata-nyata merupakan provokasi brutal yang sangat berlebihan. Narasi tersebut hampir pasti bukan muncul dari aspirasi mahasiswa atau buruh pendemo. “Demo rusuh itu telah disusupi oleh pihak-pihak yang memang menginginkan kekacauan,†jelas Hendardi.
Hal itu kata Hendardi, merupakan indikasi awal menjelang Pilpres 2019, ada pihak-pihak yang coba merepetisi pola lama yaitu memancing situasi chaos dan menebar ketakutan di tengah masyarakat untuk kepentingan Pilpres 2019.
“Dengan cara itu, kelompok yang kekuatan dan pengaruh riilnya kecil tersebut berharap, rasionalitas politik para pemilih dalam menggunakan hak pilihnya dapat ditekan sedemikian rupa,†pungkasnya.
Sebagaimana disorot oleh banyak media, aksi Hari Buruh pada 1 Mei 2018 di ibukota dan berbagai daerah berlangsung dengan aman dan damai sekalipun diwarnai berbagai tuntutan atas perbaikan kehidupan buruh.
Berbeda dengan daerah lain, aksi di Jogyakarta di lokasi pertigaan kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga berlangsung ricuh. Aksi diwarnai dengan kericuhan antara warga dengan pendemo yang dipicu oleh penghinaan atas Sultan HB X bahkan ancaman tertulis “Bunuh Sultan†di tembok-tembok dan baliho oleh pendemo.
Aksi juga dilakukan dengan pembakaran ban dan penutupan Jalan Adisutjipto, salah satu jalan tersibuk di Yogyakarta karena merupakan akses utama ke Bandara dan ke luar kota. Tidak hanya itu, aksi juga ditingkahi dengan kebrutalan perusakan dan pembakaran pos polisi menggunakan bom molotov. Aksi berujung dengan penangkapan sekitar 69 orang pendemo.(Bir)
Demikian disampaikan Ketua Setara Institute, Hendardi dalam keterangannya, Kamis (3/5/2018). Aksi demo yang rusuh dengan membakar pos polisi dan corat-coret di mana-mana dengan penghinaan kepada Sri Sultan HB X itu diduga ada penyusup politik 2019.
Karena itu Setara membuat beberapa catatan serius, yaitu: ‘Kebebasan berekspresi, berunjuk rasa, dan mengemukakan pendapat di depan umum merupakan hak konstitusional warga yang dijamin oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Namun hak tersebut tidak boleh melanggar hak dan kebebasan orang lain.’
Selain itu, penunaian hak tersebut juga harus dilakukan secara damai, tanpa kekerasan, dan tidak dengan perusakan fasilitas-fasilitas umum. “Untuk demo di UIN Yogyakarta, kita harus memberikan kesempatan kepada kepolisian untuk melaksanakan kewenangannya dalam menegakkan hukum,†ujar Hendardi.
Dan, dalam rangka penegakan hukum, sebaliknya aparat kepolisian harus melaksanakan kewenangannya secara profesional sesuai dengan koridor hukum dan peraturan perundang-undangan.
“Aparat kepolisian harus menjamin kerja-kerja bantuan hukum dan tidak menghalang-halangi kerja penasehat hukum untuk menjalankan profesinya dalam memberikan bantuan hukum bagi para pendemo yang ditangkap,†kata Hendardi lagi.
Terakhir, provokasi-provokasi yang dilakukan oleh oknum pendemo berupa penghinaan terhadap Sri Sultan HB X, sebagai simbol utama kekuasaan politik dan kultural yang disegani di Jawa, khususnya di wilayah Kesultanan Jogyakarta, sama sekali tidak relevan dengan tuntutan dan isu perburuhan dalam aksi Hari Buruh Sedunia.
Narasi “Bunuh Sultan†yang cukup massif dalam demo itu nyata-nyata merupakan provokasi brutal yang sangat berlebihan. Narasi tersebut hampir pasti bukan muncul dari aspirasi mahasiswa atau buruh pendemo. “Demo rusuh itu telah disusupi oleh pihak-pihak yang memang menginginkan kekacauan,†jelas Hendardi.
Hal itu kata Hendardi, merupakan indikasi awal menjelang Pilpres 2019, ada pihak-pihak yang coba merepetisi pola lama yaitu memancing situasi chaos dan menebar ketakutan di tengah masyarakat untuk kepentingan Pilpres 2019.
“Dengan cara itu, kelompok yang kekuatan dan pengaruh riilnya kecil tersebut berharap, rasionalitas politik para pemilih dalam menggunakan hak pilihnya dapat ditekan sedemikian rupa,†pungkasnya.
Sebagaimana disorot oleh banyak media, aksi Hari Buruh pada 1 Mei 2018 di ibukota dan berbagai daerah berlangsung dengan aman dan damai sekalipun diwarnai berbagai tuntutan atas perbaikan kehidupan buruh.
Berbeda dengan daerah lain, aksi di Jogyakarta di lokasi pertigaan kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga berlangsung ricuh. Aksi diwarnai dengan kericuhan antara warga dengan pendemo yang dipicu oleh penghinaan atas Sultan HB X bahkan ancaman tertulis “Bunuh Sultan†di tembok-tembok dan baliho oleh pendemo.
Aksi juga dilakukan dengan pembakaran ban dan penutupan Jalan Adisutjipto, salah satu jalan tersibuk di Yogyakarta karena merupakan akses utama ke Bandara dan ke luar kota. Tidak hanya itu, aksi juga ditingkahi dengan kebrutalan perusakan dan pembakaran pos polisi menggunakan bom molotov. Aksi berujung dengan penangkapan sekitar 69 orang pendemo.(Bir)