Jakarta (Beritaintermezo.com) - Tim independen pencari fakta testimoni terpidana mati Fredi Budiman yang dibentuk Polri telah menuntaskan tugasnya selama 30 hari. Namun tim tak menuai hasil maksimal.
Dengan alasan keterbatasan waktu selama 30 hari, tim independen belum dapat menemukan bukti konkret terkait dugaan adanya keterlibatan pejabat Polri, TNI dan Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam testimoni Fredi Budiman. Tim juga tak menemukan kesaksian Fredi dalam videonya soal aliran dana ke pejabat Polri, TNI, dan BNN.
"Mengenai keberangkatan ke China seperti dalam cerita Fredi kepada Haris Azhar dibantah semua pihak yang diperiksa termasuk adik Fredi, Joni Suhendra atau Latif," kata anggota tim independen Effendi Gazali di PTIK, Jakarta, Kamis (15/9) kemarin.
Namun demikian, tim menemukan sejumlah fakta soal penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan personel Polri dan Kejaksaan dalam kasus narkoba. Meski tak menemukan aliran dana kepada pejabat Polri, TNI dan BNN, tim independen justru menemukan aliran dana kepada perwira menengah Polri yang bukan berasal dari Fredi Budiman.
"Kami menemukan aliran dana ada satu aliran yang merupakan bukti awal dan sudah ditangani Propam dan diakui oleh oknum yang dulu penyidik sekarang pamen Rp 668 juta," katanya.
Menurutnya aliran dana kepada perwira menengah itu terjadi beberapa kali dengan nilai Rp 25 juta, Rp 50 juta dan Rp 700 juta.
"Ada lima indikasi aliran dana 25, 50, 700 bukan oleh Fredi Budiman sudah ditangani dan disampaikan Propam. Tapi belum menemukan aliran dana Fredi Budiman," katanya.
Tak cuma itu, tim juga menemukan adanya metode tukar kepala untuk terpidana mati. Di mana Fredi meminta seseorang untuk mengaku sebagai Rudi.
"Metode tukar kepala, akhirnya kami menemukan terpidana mati orang itu mengaku bernama Rudi. Orang itu diminta menyebut nama Rudi, beberapa pihak lain mengakui dan membela bahwa orang itu tidak tahu sama sekali," kata Efendi.
Dari hasil investigasi, tim juga membongkar pemerasan yang dilakukan oleh seorang jaksa. Pelaku narkotika diperas dengan dalil pasal akan diubah asalkan memberikan uang dan istri pelaku diminta menemani jaksa karaoke.
"Akhirnya pasal tidak berubah dan orang ini tetap dijatuhi hukuman mati," jelas Effendi.
Dari metode tukar kepala itu, Effendi menyebut kecurigaan KontraS di mana ada beberapa pejabat yang menginginkan Fredi tetap dieksekusi. Di saat bersamaan, ada terpidana yang dijadikan ATM dan bisa terus diperas.
"KontraS merasa ada pejabat tertentu yang ingin Fredi dieksekusi, kemudian ada ATM pihak tertentu yang isinya diambil terus menerus," katanya.(mc/bic)
Dengan alasan keterbatasan waktu selama 30 hari, tim independen belum dapat menemukan bukti konkret terkait dugaan adanya keterlibatan pejabat Polri, TNI dan Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam testimoni Fredi Budiman. Tim juga tak menemukan kesaksian Fredi dalam videonya soal aliran dana ke pejabat Polri, TNI, dan BNN.
"Mengenai keberangkatan ke China seperti dalam cerita Fredi kepada Haris Azhar dibantah semua pihak yang diperiksa termasuk adik Fredi, Joni Suhendra atau Latif," kata anggota tim independen Effendi Gazali di PTIK, Jakarta, Kamis (15/9) kemarin.
Namun demikian, tim menemukan sejumlah fakta soal penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan personel Polri dan Kejaksaan dalam kasus narkoba. Meski tak menemukan aliran dana kepada pejabat Polri, TNI dan BNN, tim independen justru menemukan aliran dana kepada perwira menengah Polri yang bukan berasal dari Fredi Budiman.
"Kami menemukan aliran dana ada satu aliran yang merupakan bukti awal dan sudah ditangani Propam dan diakui oleh oknum yang dulu penyidik sekarang pamen Rp 668 juta," katanya.
Menurutnya aliran dana kepada perwira menengah itu terjadi beberapa kali dengan nilai Rp 25 juta, Rp 50 juta dan Rp 700 juta.
"Ada lima indikasi aliran dana 25, 50, 700 bukan oleh Fredi Budiman sudah ditangani dan disampaikan Propam. Tapi belum menemukan aliran dana Fredi Budiman," katanya.
Tak cuma itu, tim juga menemukan adanya metode tukar kepala untuk terpidana mati. Di mana Fredi meminta seseorang untuk mengaku sebagai Rudi.
"Metode tukar kepala, akhirnya kami menemukan terpidana mati orang itu mengaku bernama Rudi. Orang itu diminta menyebut nama Rudi, beberapa pihak lain mengakui dan membela bahwa orang itu tidak tahu sama sekali," kata Efendi.
Dari hasil investigasi, tim juga membongkar pemerasan yang dilakukan oleh seorang jaksa. Pelaku narkotika diperas dengan dalil pasal akan diubah asalkan memberikan uang dan istri pelaku diminta menemani jaksa karaoke.
"Akhirnya pasal tidak berubah dan orang ini tetap dijatuhi hukuman mati," jelas Effendi.
Dari metode tukar kepala itu, Effendi menyebut kecurigaan KontraS di mana ada beberapa pejabat yang menginginkan Fredi tetap dieksekusi. Di saat bersamaan, ada terpidana yang dijadikan ATM dan bisa terus diperas.
"KontraS merasa ada pejabat tertentu yang ingin Fredi dieksekusi, kemudian ada ATM pihak tertentu yang isinya diambil terus menerus," katanya.(mc/bic)