PT Adei Divonis Denda Rp 3,9 Milyar, JPU dan PH Pikir-Pikir Untuk Banding

PT Adei Divonis Denda Rp 3,9 Milyar, JPU dan PH Pikir-Pikir Untuk Banding

Pelalawan (Beritiantermezo.com)-Peristiwa kebakaran lahan seluas 4,16 hektar yang menimpa PT Adei Plantations and Industry pada Tahun 2019 yang lalu, kini setelah melalui beberapa kali sidang di Pengadilan Negeri Pelalawan, perusahaan asing milik Malaysia tersebut dinyatakan bersalah dan diharuskan membayar total denda sebesar 3,9 Milyar.

Sidang yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Kabupaten Pelalawan yang berada di SP 6 Desa Makmur, Kecamatan Pangkalan Kerinci, pada hari Kamis, (12/11) 2020 dipimpin oleh Bambang Setyawan, SH, MH yang merupakan Ketua PN, didampingi hakim anggota Rahmat Hidayat Batubara, SH, MH dan Joko Ciptanto SH, MH.

Dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) Nophy Tennophero Suoth, SH, MH (Kajari Pelalawan) dan Rahmat Hidayat, SH.

Sementara mewakili terdakwa PT Adei Plantation and Industry yaitu Goh Keng Ee, didampingi Penasehat Hukum M. Sempakata Sitepu, SH, MH.

Dalam amar putusan yang dibacakan oleh Bambang Setyawan, SH, MH, menyatakan terdakwa PT. Adei Plantation and Industry melanggar tindak pidana, dan karna kelalaianya menyebabkan kerusakan baku mutu air, ambien dan baku mutu udara.

Lanjut Bambang, PT Adei diharuskan membayar denda pidana sebesar 1 Milyar dan tambahan denda berupa perbaikan akibat tindak pidana untuk memulihkan tanah akibat  kerusakan lahan seluas 4,16 Hektar dengan menyebabkan kerugian negara sebesar 2,9 Milyar dan membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar lima ribu rupiah.

Seusai sidang, Nophy T Suoth, SH, MH mengatakan akan pikir-pikir dulu untuk banding, terkait vonis hakim tersebut, karena ada perbedaan antara tuntutan kami dengan keputusan.

Menurut Nophy, perbedaan tersebut ada didenda yang mana tuntutan JPU sebesar 1,5 Milyar, sementara untuk denda perbaikan jumlahnya sama.

"Kami masih ada waktu sekitar 7 hari, untuk menyatakan sikap," ujarnya.

Penasehat Hukum terdakwa M Sempakata Sitepu, SH, MH juga mengatakan hal yang sama, akan pikir-pikir dulu untuk mengajukan banding, pihaknya akan koordinasi dahulu dengan kliennya, apakah akan mengajukan banding atau menerima vonis yang dijatuhkan oleh majelis hakim tersebut.

Sitepu juga mengatakan, masih ada  kelemahan dari majelis hakim sendiri yang tidak mempertimbangkan tentang undang-undang Perkebunan nomor 39 tahun 2014 tentang sarana dan prasarana yang diwajibkan kepada perusahaan perkebunan, di Pasal 1 ada tempo tenggang waktu.

Lanjutnya, tadi menurut majelis hakim bahwa ada sarana prasarana tidak mencukupi tetapi undang-undang juga mengatur masih ada kesempatan, itulah dipergunakan oleh klien kami yang tenggang waktu itu berakhir pada tanggal 17 Oktober 2019, sedangkan kejadian itu terjadi pada 7 September 2019, jadi ini tidak terjadi perbuatan melawan hukum karena sarana dan prasarana itu masih ada diberikan oleh undang-undang waktu.

"Kita juga sudah berusaha, bukan tidak, peraturan kita sendiri yang kadang tidak jelas. Kita juga sependapat dengan majelis hakim bahwa instansi terkait juga memang salah, tidak ada memberikan panduan ataupun nasehat dan hal semacamnya, hanya kesalahan ini semata dibebankan kepada perusahaan atau klien kita," ujarnya. (Tom)

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index