Beritaintermezo.com - Aliansi lembaga swadaya masyarakat Human Rights Working Groups (HRWG), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) dan Yayasan Auriga menganggap Rancangan Undang-Undang tentang Perkelapasawitan belum diperlukan. Alasannya hampir tidak ada norma baru yang ditawarkan dalam RUU ini, bahkan lebih banyak aturan-aturan yang dimuat mengaburkan upaya yang dilakukan pemerintah saat ini.
"Keberadaan RUU Perkelapasawitan justru membuat regulasi makin carut marut, karena RUU ini melegalkan tindakan pelanggar hukum di areal gambut," kata Deputi Direktur Advokasi Elsam Andi Muttaqien seperti dilansir tempo.co Minggu 5 Februari 2017.
Menurut Andi, undang-undang ini terkesan akan melegalkan perkebunan kelapa sawit yang saat ini dianggap illegal. Hal itu tertulis dalam pasal 23 draft RUU itu. Pasal itu sendiri mengatur soal hak budidaya Kelapa Sawit di atas sebidang tanah atau lahan setelah setelah memperoleh izin usaha. Adapun sebidang tanah yang dimaksud yaitu tanah mineral dan/atau lahan gambut.
"Nampak jelas sekali dijadikan instrumen memutihkan atau memberi celah perusahaan agar dapat beroperasi di lahan gambut," ujarnya.
Peneliti dari Yayasan Auriga Syahrul Fitra menuturkan RUU ini juga memuat aturan tentang perlindungan lahan gambut di pasal 49. Tapi pasal itu dianggap masih abstrak dan berpotensi bertolak belakang dengan kebijakan moratorium lahan gambut yang tertuang dalam PP No. 57 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
"PP itu mengatur setiap orang dilarang membuka lahan bari sampai ditetapkannya zonasi fungsi lindung dan fungsi budaya di areal gambut," ujar Syahrul.
Selain masalah gambut, RUU ini dianggap belum diperlukan. Menurut Andi, 70 persen regulasi yang ada terkait masalah Kelapa Sawit, sudah dimuat dalam perundang-undangan yang lain. "Ada di UU P3H, Undang-Undang tentang Perkebunan dan lainnya," ucapnya.
Menurut Andi, RUU ini belum memerhatikan kesejahteraan para petani. Pasal yang mengatur khusus tentang kemudahan bagi petani hanya ada di pasal 29. "Tapi, hal itu masih perlu diturunkan dalam peraturan pemerintah. Sehingga operasionalnya akan sangat bergantung pada kapan pembentukan PP itu," ucapnya. (tc/bic)
"Keberadaan RUU Perkelapasawitan justru membuat regulasi makin carut marut, karena RUU ini melegalkan tindakan pelanggar hukum di areal gambut," kata Deputi Direktur Advokasi Elsam Andi Muttaqien seperti dilansir tempo.co Minggu 5 Februari 2017.
Menurut Andi, undang-undang ini terkesan akan melegalkan perkebunan kelapa sawit yang saat ini dianggap illegal. Hal itu tertulis dalam pasal 23 draft RUU itu. Pasal itu sendiri mengatur soal hak budidaya Kelapa Sawit di atas sebidang tanah atau lahan setelah setelah memperoleh izin usaha. Adapun sebidang tanah yang dimaksud yaitu tanah mineral dan/atau lahan gambut.
"Nampak jelas sekali dijadikan instrumen memutihkan atau memberi celah perusahaan agar dapat beroperasi di lahan gambut," ujarnya.
Peneliti dari Yayasan Auriga Syahrul Fitra menuturkan RUU ini juga memuat aturan tentang perlindungan lahan gambut di pasal 49. Tapi pasal itu dianggap masih abstrak dan berpotensi bertolak belakang dengan kebijakan moratorium lahan gambut yang tertuang dalam PP No. 57 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
"PP itu mengatur setiap orang dilarang membuka lahan bari sampai ditetapkannya zonasi fungsi lindung dan fungsi budaya di areal gambut," ujar Syahrul.
Selain masalah gambut, RUU ini dianggap belum diperlukan. Menurut Andi, 70 persen regulasi yang ada terkait masalah Kelapa Sawit, sudah dimuat dalam perundang-undangan yang lain. "Ada di UU P3H, Undang-Undang tentang Perkebunan dan lainnya," ucapnya.
Menurut Andi, RUU ini belum memerhatikan kesejahteraan para petani. Pasal yang mengatur khusus tentang kemudahan bagi petani hanya ada di pasal 29. "Tapi, hal itu masih perlu diturunkan dalam peraturan pemerintah. Sehingga operasionalnya akan sangat bergantung pada kapan pembentukan PP itu," ucapnya. (tc/bic)