JAKARTA, (BI)-Pro-kontra Presiden Jokowi cuti atau tidak saat kampanye pilpres 2019 mendatang, pada prinsipnya bahwa tugas-tugas Presiden sebagai kepala negara jangan sampai membahayakan keselamatan negara.
Sebab sebagai kepala pemerintahan itu tidak bisa dikerjakan oleh Wapres. Karena jabatan Presiden tidak melekat pada jabatan Wapres. Sehingga tak boleh ada kekosongan presiden begitu juga wapres.
“Jadi, Jokowi cutinya beberapa jam atau beberapa hari saja saat kampanye pilpres, karena tak boleh ada kekosongan kekuasaan dan tugas presiden tidak melekat pada Wapres,†tegas Sekjen Demokrat Hinca Panjaitan di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Kamis (5/4/2018).
Presiden itu jabatan publik dan sangat krusial sehingga cutinya harus dibatasi; apakah selama 6 bulan, 3 bulan, 3 minggu, 3 hari, dan lain-lain. “Cuti itu tidak full, karena diwajibkan dengan ketentuan yang ditentukan oleh KPU,†ujarnya.
Cuti itu sudah dilakukan sejak pilpres 2004 oleh Megawati, Hamzah Haz, dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Hanya saja berbeda konsep cuti pilpres dan pilkada.
Kenapa harus cuti? Menurut Hinca, untuk membatasi kekuasaan karena presiden meiliki akses pada semua fasilitas negara,menghindari konlik of interest, dan agar pilpres berlangsung secara fair.
Sekretaris Fraksi NasDem DPR RI, Syarif Abdulah Alkadri menilai jika hal itu harus dikembalikan kepada sistem ketatanegaraan. Dimana presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, tugasnya tidak melekat pada Wapres. “Maka, tak bisa ada plt presiden,†ungkapnya.
Yang perlu dipahami kata Syarif, cuti pilpres itu berbeda dengan cuti dalam pilkada. Dimana tugas-tugas gubernur, bupati, dan walikota, bisa dikerjakan oleh Plt. Selain itu, sistem kekuasaan adalah presidensial. “Jadi, presiden cuti saat kampanye saja,†katanya.(Bir).
Sebab sebagai kepala pemerintahan itu tidak bisa dikerjakan oleh Wapres. Karena jabatan Presiden tidak melekat pada jabatan Wapres. Sehingga tak boleh ada kekosongan presiden begitu juga wapres.
“Jadi, Jokowi cutinya beberapa jam atau beberapa hari saja saat kampanye pilpres, karena tak boleh ada kekosongan kekuasaan dan tugas presiden tidak melekat pada Wapres,†tegas Sekjen Demokrat Hinca Panjaitan di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Kamis (5/4/2018).
Presiden itu jabatan publik dan sangat krusial sehingga cutinya harus dibatasi; apakah selama 6 bulan, 3 bulan, 3 minggu, 3 hari, dan lain-lain. “Cuti itu tidak full, karena diwajibkan dengan ketentuan yang ditentukan oleh KPU,†ujarnya.
Cuti itu sudah dilakukan sejak pilpres 2004 oleh Megawati, Hamzah Haz, dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Hanya saja berbeda konsep cuti pilpres dan pilkada.
Kenapa harus cuti? Menurut Hinca, untuk membatasi kekuasaan karena presiden meiliki akses pada semua fasilitas negara,menghindari konlik of interest, dan agar pilpres berlangsung secara fair.
Sekretaris Fraksi NasDem DPR RI, Syarif Abdulah Alkadri menilai jika hal itu harus dikembalikan kepada sistem ketatanegaraan. Dimana presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, tugasnya tidak melekat pada Wapres. “Maka, tak bisa ada plt presiden,†ungkapnya.
Yang perlu dipahami kata Syarif, cuti pilpres itu berbeda dengan cuti dalam pilkada. Dimana tugas-tugas gubernur, bupati, dan walikota, bisa dikerjakan oleh Plt. Selain itu, sistem kekuasaan adalah presidensial. “Jadi, presiden cuti saat kampanye saja,†katanya.(Bir).