JAKARTA, (BI)-Terkait sorotan terhadap penggalangan dana masyarakat dan partai untuk pembiayaan pencapresan Prabowo Subianto, Wakil Ketua Umum Gerindra Fadli Zon mengklaim penggalangan dana yang dilakukan partainya semata untuk menghindari cukong politik. Untuk memutus rantai pengaruh para cukong dan naga dalam sistem politik Indonesia.
Selain itu kata Fadli, sumbangan negara kepada partai politik bukanlah sesuatu yang aneh. Ada sekitar 75 persen negara di dunia memberikan dana bantuan kepada parpol di negara masing-masing. Dan jika dibandingkan dengan besaran subsidi di negara lain, bantuan negara untuk parpol di Indonesia memang relatif rendah.
Saat ini partai-partai di Indonesia umumnya hanya dihidupi oleh para pengurusnya saja, bukan oleh anggota secara umum. Ini juga barangkali yang telah membuat kenapa pelembagaan demokrasi kita hari ini jadi berimpit dengan korupsi dan oligarki.
Mengapa? “Karena untuk menutupi biaya politik yang besar tak mungkin hanya mengandalkan kemampuan pengurus. Ujungnya, parpol kemudian bermain mata dengan para cukong politik, atau terjebak dalam penyalahgunaan kekuasaan melalui korupsi,†ungkapnya.
Sebagai partai yang berwawasan masa depan, Gerindra ingin menjadi partai modern yang mandiri. Anggota dan simpatisan pada akhirnya harus menjadi basis finansial untuk memandirikan partai. Kami ingin melakukan edukasi tersebut.
“Saya kira melembagakan sistem politik dan kepartaian yang sehat haruslah menjadi kepentingan kita bersama. Dan kita bisa memulainya dengan berpartisipasi dalam menyokong kelembagaan parpol secara kontinu, bukan hanya dengan cara memberikan suara pada saat Pemilu saja. Ikatan antara anggota dan simpatisan dengan partai politik bersifat lebih konkret dan permanen,†jelas Fadli.
Seperti diketahui Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto telah meluncurkan “Gerakan Perjuangan†pada Kamis (21/6/2018) lalu. Gerakan untuk mengundang partisipasi publik dalam pembiayaan partai politik tersebut merupakan salah satu langkah Partai Gerindra menjadi sebuah partai modern yang mandiri.
“Desain sistem politik dan sistem Pemilu kita telah melahirkan konsekuensi biaya politik yang mahal. Sayangnya, dukungan publik dan APBN kita terhadap pendanaan partai politik sangat kecil. Tahun lalu dana bantuan untuk parpol hanya sebesar Rp. 13,5 miliar. Dana itupun harus dibagi untuk seluruh partai. Jadi, setiap satu suara sah dalam Pemilu hanya dihargai Rp 108,†tegas Wakil Ketua DPR RI itu, Selasa (26/6/2018).
Tahun ini, sesudah ada PP No. 1/2018, dana bantuan meningkat menjadi Rp. 124 miliar. Artinya, setiap suara sah dalam Pemilu dihargai Rp1.000. Itupun sebenarnya tak bisa disebut sebagai peningkatan, karena pada periode 1999-2004, besarannya juga sudah Rp1.000 per suara sah yang diperoleh parpol.
Pada masa Presiden SBY nilai sumbangannya diturunkan menjadi Rp108. Dengan angka baru tadi, total sumbangan APBN bagi parpol masih kurang dari 0,1 persen.
Jika dibandingkan dengan kebutuhan operasional partai politik di Indonesia kata Fadli, besarnya bantuan APBN itu tentu sangat tak memadai. Tidak ada separuhnya. Sebagai perbandingan, misalnya, untuk mendukung parpol di negaranya Meksiko memberikan bantuan sebanyak 70 persen kebutuhan operasional.
“Itu sebabnya setiap tahun negara menganggarkan dana US$200 juta untuk membiayai sembilan parpol yang ada di sana. Sedangkan untuk dana kampanye negara menyediakan dana tersendiri sebesar U$100 juta. Atau di Jerman, misalnya, tiap suara sah dalam Pemilu di sana dihargai Rp. 16.000,†ujarnya. (Bir)
Selain itu kata Fadli, sumbangan negara kepada partai politik bukanlah sesuatu yang aneh. Ada sekitar 75 persen negara di dunia memberikan dana bantuan kepada parpol di negara masing-masing. Dan jika dibandingkan dengan besaran subsidi di negara lain, bantuan negara untuk parpol di Indonesia memang relatif rendah.
Saat ini partai-partai di Indonesia umumnya hanya dihidupi oleh para pengurusnya saja, bukan oleh anggota secara umum. Ini juga barangkali yang telah membuat kenapa pelembagaan demokrasi kita hari ini jadi berimpit dengan korupsi dan oligarki.
Mengapa? “Karena untuk menutupi biaya politik yang besar tak mungkin hanya mengandalkan kemampuan pengurus. Ujungnya, parpol kemudian bermain mata dengan para cukong politik, atau terjebak dalam penyalahgunaan kekuasaan melalui korupsi,†ungkapnya.
Sebagai partai yang berwawasan masa depan, Gerindra ingin menjadi partai modern yang mandiri. Anggota dan simpatisan pada akhirnya harus menjadi basis finansial untuk memandirikan partai. Kami ingin melakukan edukasi tersebut.
“Saya kira melembagakan sistem politik dan kepartaian yang sehat haruslah menjadi kepentingan kita bersama. Dan kita bisa memulainya dengan berpartisipasi dalam menyokong kelembagaan parpol secara kontinu, bukan hanya dengan cara memberikan suara pada saat Pemilu saja. Ikatan antara anggota dan simpatisan dengan partai politik bersifat lebih konkret dan permanen,†jelas Fadli.
Seperti diketahui Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto telah meluncurkan “Gerakan Perjuangan†pada Kamis (21/6/2018) lalu. Gerakan untuk mengundang partisipasi publik dalam pembiayaan partai politik tersebut merupakan salah satu langkah Partai Gerindra menjadi sebuah partai modern yang mandiri.
“Desain sistem politik dan sistem Pemilu kita telah melahirkan konsekuensi biaya politik yang mahal. Sayangnya, dukungan publik dan APBN kita terhadap pendanaan partai politik sangat kecil. Tahun lalu dana bantuan untuk parpol hanya sebesar Rp. 13,5 miliar. Dana itupun harus dibagi untuk seluruh partai. Jadi, setiap satu suara sah dalam Pemilu hanya dihargai Rp 108,†tegas Wakil Ketua DPR RI itu, Selasa (26/6/2018).
Tahun ini, sesudah ada PP No. 1/2018, dana bantuan meningkat menjadi Rp. 124 miliar. Artinya, setiap suara sah dalam Pemilu dihargai Rp1.000. Itupun sebenarnya tak bisa disebut sebagai peningkatan, karena pada periode 1999-2004, besarannya juga sudah Rp1.000 per suara sah yang diperoleh parpol.
Pada masa Presiden SBY nilai sumbangannya diturunkan menjadi Rp108. Dengan angka baru tadi, total sumbangan APBN bagi parpol masih kurang dari 0,1 persen.
Jika dibandingkan dengan kebutuhan operasional partai politik di Indonesia kata Fadli, besarnya bantuan APBN itu tentu sangat tak memadai. Tidak ada separuhnya. Sebagai perbandingan, misalnya, untuk mendukung parpol di negaranya Meksiko memberikan bantuan sebanyak 70 persen kebutuhan operasional.
“Itu sebabnya setiap tahun negara menganggarkan dana US$200 juta untuk membiayai sembilan parpol yang ada di sana. Sedangkan untuk dana kampanye negara menyediakan dana tersendiri sebesar U$100 juta. Atau di Jerman, misalnya, tiap suara sah dalam Pemilu di sana dihargai Rp. 16.000,†ujarnya. (Bir)